Nursultan, Gatra.com - Kazakhstan secara signifikan meningkatkan pengeluaran pertahanan dan mencari hubungan yang lebih dekat dengan China dan negara-negara NATO, di tengah kekhawatiran ambisi geopolitik Moskow menyebar di luar Ukraina.
The Wall Street Journal melaporkan Senin (25/7) sebagaimana dikutip seorang pejabat Kazakhstan.
WSJ melaporkan, negara Asia Tengah itu akan memberikan tambahan 441 miliar tenge (US$918 juta) sekitar Rp13 triliun untuk anggaran pertahanannya atau terjadi peningkatan hampir 1,5 kali lipat dari anggaran tahun lalu sebesar US$1,7 miliar.
Sebagian dari dana tambahan akan digunakan untuk memperkuat cadangan militernya.
Sementara Rusia mengerahkan pasukan penjaga perdamaian ke Kazakhstan pada awal 2022, di tengah serangkaian protes anti-pemerintah yang mematikan di seluruh negeri, menyebabkan perang Moskow melawan Ukraina, sehingga telah memperumit hubungan antara Rusia dan tetangga dan sekutu selatannya.
Kazakhstan telah mengambil sikap netral dalam perang saat ini, dan menolak untuk menawarkan dukungan penuh kepada Rusia atau Ukraina.
Berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg bulan Juni, Presiden Kazakh Kassym-Jomart Tokayev mengatakan negaranya tidak akan mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk, yang memproklamirkan diri.
Komentar itu secara luas dilihat sebagai penghinaan bagi Putin, yang sebelumnya menyebut "pembebasan" republik separatis pro-Moskow sebagai alasan untuk mengirim pasukan ke Ukraina.
Mencermati komentar Tokayev, Rusia menghentikan ekspor minyak Kazakh menuju Eropa melalui pelabuhan Novorossiysk Rusia, dengan alasan dugaan pelanggaran lingkungan. Tindakan yang dengan cepat dibatalkan setelah otoritas Kazakh dengan mengancam akan memblokir impor paralel penghindaran sanksi ke Rusia, melalui pos pemeriksaan pabean mereka.
Melemahnya hubungan dengan Rusia telah membuat Kazakhstan semakin dekat dengan China, Amerika Serikat dan anggota NATO yakni Turki dalam beberapa bulan terakhir.
Seorang pejabat senior dari negara Asia Tengah mengatakan kepada WSJ bahwa kegelisahan meningkat di seluruh wilayah atas tujuan Moskow di luar Ukraina.
“Bayangkan jika mereka [Rusia] tidak memiliki Ukraina untuk disalahgunakan. Apakah kita akan menjadi yang berikutnya? ” ungkap pejabat yang tidak disebutkan namanya itu kepada WSJ.