Yogyakarta, Gatra.com - Metaverse mulai dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, termasuk di dunia pendidikan dan riset. Mulai diskusi virtual para peneliti dunia, rekayasa tingkat molekuler, hingga produksi obat.
Hal ini disampaikan Wiryanatha Wijaya, Direktur Monster AR, sebuah perusahaan teknologi informasi, di seminar nasional Biologi Tropika ke-6 'Masa Depan Biodiversitas Indonesia di Era Metaverse' di kampus Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (23/7).
"Di dunia edukasi dan riset, teknologi AR (augmented reality) dan VR (virtuality reality) sebagai cikal bakal metaverse mulai banyak digunakan," kata Wirya.
Ia menyebut metaverse bukanlah sebuah platform atau produk, melainkan sebuah era dengan banyak elemen.
"Banyak peluang yang bisa diolah dari sisi industri dan ilmu pengetahuan. Metaverse menawarkan cara baru untuk berkolaborasi di mana pun secara virtual," kata dia.
Ia menjelaskan, metaverse punya sejumlah benefit. Antara lain mengatasi hambatan di dunia nyata, mengembangkan imajinasi, bahkan pengguna dapat traveling ke mana pun.
"Metaverse juga meningkatkan literasi dan skill. Saat bertemu orang baru, kita juga tidak awkward (canggung) bahkan membuka peluang-peluang baru," ujarnya.
Dengan kemampuan itu, metaverse diprediksi punya nilai ekonomi besar, antara lain 800 miliar USD pada 2030 bahkan mencakup Industri 10 persen dari total nilai GDP dunia. "Peluang ini sayang kalau kita lewatkan," ujarnya.
Di lini ekonomi, metaverse telah dimanfaatkan merek-merek besar dunia. Produk baru mereka bahkan diluncurkan di metaverse.
"Mereka paham konsumen mereka digital native yang dekat dengan produk-produk yang go digital. Mereka tidak mau ketinggalan kereta. Apalagi era metaverse cepat atau lambat pasti datang," katanya.
Selain itu, metaverse juga memunculkan influencer yang terbukti berpengaruh besar ke konsumen, bahkan ditunjuk sebagai duta suatu produk.
Melalui galeri dan catwalk virtual, seniman dan peraga busana juga eksis di metaverse. Tak kalah potensialnya adalag industri game. "Makanya saya apresiais UGM yang mulai masuk ke metaverse ini," kata dia.
Selama ini, di bidang edukasi dan riset, teknologi AR-VR sudah digunakan untuk praktikum dan belajar bersama. Untuk tingkat lebih lanjut, rekayasa molekuler dan protein juga mulai memanfaatkannya. "Selama ini rekayasa ini susah dan mahal, tapi bisa dilakukan di metaverse," ujarnya.
Wirya mencontohkan, teknologi kecerdasan buatan dan machine learning sebagai elemen metaverse juga telah dimanfaatkan dalam fatmasi yakni untuk pengujian dan produksi obat. Adapun teknologi blockchain yang transparan dan desentralisasi dapat untuk verifikasi data guna memastikan suatu informasi dalam riset agar data itu valid.
Ia juga memaparkan, sejumlah negara telah menerapkan hasil riset berbasis metaverse. Contohnya, sebuah rumah sakit Dubai membuka konsultasi jarak jauh dengan VR untuk pasien dalam kondisi lumpuh. Sedangkan di Korsel dikembangkan replika genetik yang digunakan untuk memprediksi terapi medis yang tepat bagi individu.
"Teknologi block chain juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan data biodiversitas secara valid. Metaverse menjawab kebtuhan pembelajaran yg aman tanpa harus ke lapangan yang sulit dijangkau," tuturnya.
Dekan Fakultas Biologi UGM Budi Daryono menjelaskan perlunya kolaborasi dalam mengembangkan teknologi metaverse. Hal ini juga cocok dengan teori simbiosis mutualisme dalam biologi.
"Kita tahu teori ini paling baik supaya kita saling maju, tapi tidak bisa tanpa aksi dan implementasi. Jadi kata kuncinya kolaborasi," ujarnya.
Untuk itu, komunitas ilmuwan biologi Indonesia harus memanfaatkan semua peluang dan jaringan dalam mengembangkan keilmuan, termasuk dengan teknologi metaverse.