Jakarta, Gatra.com – Masyarakat Osing di Desa Adat Kemiren, meminta agar Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim), melibatkan mereka dalam mengembangkan Desa Wisata Kemiren.
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), Dr. Laksanto Utomo, pada Jumat (22/7), menyampaikan, pihaknya mendapat keluhan tersebut ketika melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat bekerja sama dengan sejumlah fakultas hukum dari berbagai perguruan tinggi di Tanah Air.
Laksanto menyampaikan, keluhan tersebut diutarakan oleh tokoh budaya Masyarakat Osing di Desa Kemiren, Adi Purwandi yang karib disapa Kang Pur. Dia mengatakan bahwa pengelolaan Desa Wisata Budaya Osing di Desa Kemiren sama sekali tidak melibatkan Masyarakat Adat Osing.
Menurutnya, pemerintah daerah lebih mengutamakan investor sehingga Masyarakat Osing, terutama yang ada di Desa Kemiren tidak terdampak signifikan dengan keberadaan Desa Wisata Budaya Osing. Bahkan, keinginan dan usulan Masyarakat Osing mendirikan miniatur Desa Kemiren pun hingga kini belum terealisasi.
Kang Pur juga mengutarakan kegundahannya dengan tidak dilibatkannya Masyarakat Osing di Desa Kemiren dalam pengelolaan desa budaya tersebut. Ia khawatir budaya yang ditampilkan di desa tersebut bukan disajikan oleh orang Osing sehingga akan menghapus makna dari budaya yang disajikan kepada para wisatawan.
Terkait itu, Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Widyagama Malang, Dr. Purnawan D. Negara, S.H., M.H., menyampaikan, kegundahan Masyarakat Adat Osing yang tersebar di wilayah yang relatif luas dan mempunyai kearifan lokal yang sangat baik terhadap keberadaan lingkungan itu sangat mendesar.
Karena itu, lanjut dia, penataan dan pengelolaan sumber daya alam hendaknya tidak hanya memperhatikan faktor fisik dan ekonomi semata, namun juga wajib melibatkan aspek sosial budaya lokal, terutama keunikan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal). Ini menjadi suatu faktor yang tidak boleh dikesampingkan.
Untuk itu, kata dia, perencanaan spasial, dalam hal ini pembangunan sektor kepariwsiataan harus memperhatikan keberlanjutan sumberdaya lokal, di antaranya adalah harus melindungi masyarakat adat dan hak-haknya serta mengakui agar adat istiadat yang dibangun mereka tetap lestari.
Bentuk perlindungan itu, antara lain adalah dengan mengedepankan Free, Prior, Informed, dan Consen (FPIC) yang menjadi satu kesatuan. Free, ini berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya, kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat.
Kemudian Prior, sebelum proyek atau kegiatan tertentu (utamanya pariwisata) diizinkan pemerintah, terlebih dahulu harus mendapat izin dari masyarakat. Informed, informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan, baik sebab maupun akibatnya; dan Consent, persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri.
Menurutnya, lembaga adat merupakan penyelenggara hukum adat dan adat istiadat yang berfungsi mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan Masyarakat Hukum Adat. Lembaga adat merupakan bagian dari Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup dan berfungsi sesuai dengan kedudukan dan peranannya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (UNEJ), Prof. Dominikus Rato, S.H., M.Si, mengatakan bahwa lembaga adat sangat diperlukan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat adat kepada pemerintah. Peran masyarakat adat melalui lembaga adat sangat diperlukan agar terwujudnya peraturan daerah tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat Osing.
Menurutnya, pengalaman tahun 2016 terjadi, yakni Rancangan Perda yang sudah dibuat dan diusulkan kepada DPRD awalnya tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat Osing namun berubah wajah menjadi Perda Pelestarian Budaya Banyuwangi tanpa memuat sedikit pun tentang Masyarakat Adat Osing.
Terkait itu, lanjut Rato, saat ini UNEJ sudah menyusun Rancangan Perda dan Naskah Akademik tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat Osing. Masyarakat Osing harus dilibatkan agar Rancangan Perda tersebut dapat mewakili mereka.
Lembaga adat mempunyai tugas di antaranya memfasilitasi pendapat atau aspirasi masyarakat hukum adat kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah, memediasi penyelesaian sengketa dalam dan atau antarmasyarakat hukum adat, dan memberikan putusan atas penyelesaian sengketa adat.
Untuk menjalankan tugasnya, kata Rato, lembaga adat berwenang, di antaranya mengelola hak dan harta kekayaan masyarakat hukum adat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat, mewakili kepentingan masyarakat hukum adat dalam hubungan di luar wilayah adat, dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat pada Masyarakat Adat Osing yang keberadaan budaya dan kearifan lokalnya telah dijadikan program unggulan Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu destinasi wisata.
Menurut Rato, penetapan Desa Kemiren menjadi desa wisata secara otomatis akan membawa dampak pada kehidupan Masyarakat Osing. Dampaknya yakni gaya berperilaku pariwisata, perubahan struktural Masyarakat Osing, dan perubahan aspek perekonomian masyarakat Osing.
“Perubahan-perubahan Masyarakat Adat Osing di atas harus segera disikapi agar perubahan-perubahan tersebut tidak mengikis budaya lokal Masyarakat Adat Osing,” ujarnya.
Lembaga adat sebagai penyelenggara hukum adat memiliki tugas yang berat agar dampak desa wisata yang telah ditetapkan Kabupaten Banyuwangi tidak berdampak terhadap terkikisnya budaya Masyarakat Osing itu sendiri.
Lembaga Adat juga harus memperjuangkan bahwa Desa Wisata Budaya Osing harus melibatkan Masyarakat Adat Osing, agar apa yang disajikan kepada wisatawan tetap menjaga dan menyajikan makna budaya tersebut.
Isu strategis yang dapat diperjuangkan oleh Masyarakat Adat Osing melalui lembaga adatnya adalah penguatan peraturan perundangan untuk penataan desa adat, percepatan pembangunan desa adat secara terpadu, pemberdayaan lembaga adat, pengelolaan sumber daya pembangunan desa berbasis adat, serta kumulasi pengetahuan tentang kekuatan adat di perdesaan.
Berdasarkan isu tersebut, aksi yang diharapkan adalah tersusunnya Peraturan Pemerintah minimal Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tentang Lembaga Adat dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat. Kemudian, penetapan desa wisata oleh pemerintah daerah harus secara nyata dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat itu sendiri da eksploitasi wisata budaya harus tetap menjunjung tinggi kelestarian budaya lokal Masyarakat Osing.
Masyarakat Osing harus menjadi subjek dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Artinya, Masyarakat Osing melalui lembaga adatnya memiliki kuasa yang penuh atas pengembangan wisata dan kelestarian budayanya.
Laksanto menyampaikan, Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini dihadiri oleh 31 perwakilan dari Masyarakat Adat Osing yang tersebar di 11 desa. Program Pengabdian Kepada Masyarakat ini dilaksanakan kerja sama antara FH Universitas Sahid Jakarta, FH Universitas Negeri Jember, FH Universitas Widyagama Malang, FH Universitas Sang Bumi Juwa Ruwai Bandar Lampung, dan APHA.
Adapun narasumber yang menyampaikan materi dalam kegiatan Sosialisasi Optimalisasi Fungsi Lembaga Adat pada Masyarakat Osing Banyuwangi ini yakni Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si, Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum, Dr. Purnawan D. Negara, S.H., M.H., dan Dr. Lenny Nadriana, S.H., M.H.