Slawi, Gatra.com - Jumlah pekerja sektor informal di Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah yang menjadi peserta program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek masih rendah. Kurangnya pemahaman terkait manfaat BJPS Ketenagakerjaan menjadi penyebabnya.
Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Tegal, Mulyono Adi Nugroho mengatakan, peserta BPJS Ketenagakerjaan masih didominasi oleh pekerja di sektor formal. Sedangkan kepesertaan pekerja sektor informal atau bukan penerima upah (BPU) jumlahnya masih minim.
"Padahal baik pekerja formal maupun pekerja bukan penerima upah atau pekerja informal sama-sama rentan terhadap risiko kecelakaan kerja dan kematian," katanya di sela sosialisasi program BP Jamsostek Bagi Masyarakat Pekerja Sektor Informal di Kantor Kelurahan Kudaile, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jumat (22/7).
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan Tegal, hingga Juli 2022, jumlah pekerja informal di Kabupaten Tegal sebanyak 407.862 orang. Dari jumlah itu, baru 3,13 persen atau sekitar 12.784 orang yang sudah tercover BPJS Ketenagakerjaan.
Sementara di Kota Tegal, pekerja informal yang sudah memiliki keanggotaan atau kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, jumlahnya 10.957 orang atau baru mencapai 17,18 persen dari 63.769 orang pekerja formal.
Menurut Mulyono, pekerja informal, seperti nelayan, pedagang, tukang ojek, tukang becak, buruh panggul, dan petani, perlu mendapat perlindungan dari risiko kecelakaan kerja dengan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Namun banyak dari mereka yang masih belum mengetahui manfaat dari kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan.
"Salah satu kendalanya memang pekerja informal belum memahami manfaat BPJS Ketenagakerjaan. Makannya salah satu upaya kami adalah mengadakan sosialisasi mengenai manfaat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, Ini perlu gerakan bersama agar masyarakat bisa paham dan merasakan manfaatnya," ujarnya.
Mulyono menjelaskan, dengan iuran hanya Rp16.800 per bulan, pekerja informal sudah terlindungi jaminan kecelakaan kerja dan kematian. Beberapa manfaat yang didapatkan antara lain jika mengalami kecelakaan kerja, peserta akan ditanggung biaya pengobatan dan penggantian penghasilan selama tidak bisa bekerja.
Kemudian jika kecelakaan kerja yang dialami mengakibatkan meninggal, maka peserta akan mendapat santunan kematian sebesar Rp70 juta. Selain itu, dua anaknya juga akan ditanggung biaya pendidikannya melalui beasiswa dari TK hingga kuliah.
"Selain itu, jika ada peserta yang meninggal dunia disebabkan apapun di luar kecelakaan kerja, seperti meninggal karena sakit, terpapar Covid-19, serangan jantung, dan lain-lain, juga ada perlindungan dari pemerintah berupa santunan kematian sebesar Rp42 juta. Semua manfaat tersebut diperoleh hanya dari iuran Rp16.800 per bulan," jelasnya.
Mulyono menambahkan, dampak jangka panjang dari program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan adalah untuk mengentaskan kemiskinan. "Kalau ada tulang punggung keluarga mengalami kecelakaan kerja atau kematian, tapi tidak ada perlindungan apapun, maka dampaknya bisa menimbulkan risiko kemiskinan baru," kata dia.
Anggota Komisi lX DPR RI, Dewi Aryani mengatakan, sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan perlu dilakukan secara massif karena masih banyak masyarakat yang belum memahami manfaat yang didapat ketika menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Masih rendahnya jumlah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan menurut dia bukan karena pekerja tidak mau mendaftar, tapi karena kurang memahami manfaatnya.
Selain sosialisasi yang digelar secara langsung oleh BJPS Ketenagakerjaan, ujar Dewi, kepala daerah juga perlu ikut mendorong kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, baik untuk pekerja formal maupun non formal. "Tak hanya untuk melindungi pekerja, pemerintah daerah juga bisa terbantu dengan adanya manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan," tandasnya.