Jakarta, Gatra.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan memperoleh sejumlah temuan terkait kasus tewasnya ajudan Eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, Brigadir J. Satu di antara temuan tersebut adalah peretasan ponsel yang dialami keluarga Brigadir J.
“Ada soal pemblokiran. Ada soal peretasan yang itu berbeda problemnya. Terkait peretasan, kami dapatkan informasi yang cukup detail,” ujar Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam dalam keterangannya, Kamis (21/7).
Anam menyatakan bahwa Komnas HAM telah mengantongi informasi terkait peretasan secara terperinci. "Terkait peretasan kami dapatkan informasi yang cukup detail, kapan terjadi, pada siapa, dan bagaimana, termasuk apakah ada yang hilang, atau tidak. Kami mendapat informasi yang cukup untuk itu," kata Anam.
Seperti diketahui, Komnas HAM memperoleh informasi peretasan langsung dari keluarga Brigadir J saat datang ke Jambi guna meminta keterangan. Anam pun menyatakan bahwa ada dugaan peretasan tersebut berhubungan dengan kasus meninggalnya Brigadir J.
“Sepanjang yang kami dapat dengan background orang tua, pasti berhubungan dengan ini (kasus tewasnya Brigadir J),” tuturnya.
Sebelumnya, koordinator tim kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak memaparkan, percakapan terakhir antara Brigadir J dan keluarganya terjadi pada Jumat (8/7) sekitar pukul 10.00 WIB.
“Pukul 10.00 WIB dia (Brigadir J) masih aktif berkomunikasi melalui telepon dan melalui WhatsApp kepada orang tuanya, khususnya melalui grup WA keluarga,” kata Kamaruddin.
Kala itu, jelas Kamaruddin, Brigadir J mengabarkan keluarganya bahwa ia akan mengawal Irjen Polisi Ferdy Sambo kembali ke Jakarta dari Magelang. Dengan estimasi perjalanan selama 7 jam, Brigadir J meminta agar tidak dihubungi dalam kurun waktu tersebut.
Hanya saja selepas tujuh jam berlalu, lanjut Kamaruddin, Brigadir J malah tidak dapat dihubungi. Nomor orang tua, kakak dan adiknya tampak telah diblokir di Whatsapp, begitu juga dengan WA grup keluarga. Tak berhenti di sana, peretasan dan pemblokiran seluruh ponsel keluarga korban terjadi selama kurang lebih satu pekan.
Pakar digital forensik, Ruby Alamsyah menjelaskan, peretasan Whatsapp umumnya bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama, takeover account atau pengambilalihan akun, kemudian pemblokiran akun.
Untuk melakukan kedua hal itu, jelas Ruby, terdapat sejumlah metode yang dapat dipakai, mulai dari yang cara sederhana seperti metode phising dan social engineering untuk meminta OTP (One Time Password) kepada korban, hingga dengan menggunakan perangkat khusus.
“Social engineering itu pengelabuan melalui telepon, chatting sehingga korban percaya dan memberikan OTP yang dikirimkan Whatsapp,” jelas Rubby.
Cara pengambilalihan akun Whatsapp lainnya, jelas Ruby, juga dapat dilakukan dengan melakukan akses ilegal kepada konten SMS korban. Untuk cara ini perlu dilakukan penyadapan ponsel, sehingga kode OTP yang masuk via SMS dapat diketahui pelaku.
Metode ketiga, sebut Ruby, menggunakan spyware atau perangkat pengintai. Spyware merupakan software yang diinstal secara diam-diam oleh hacker dan digunakan untuk memantau perilaku online korban.
Ruby menjelaskan, spyware sendiri terbagi dua jenis, pertama Spyware untuk umum yang biasa digunakan oleh keluarga untuk mengawasi aktivitas daring anak ataupun pasangan. Spyware lainnya merupakan versi yang biasa dipakai oleh penegak hukum.
“Spyware penegak hukum karena versi khusus dan mahal sekali, itu bisa dimasukkan dari jarak jauh dan bisa memonitor handphone target dari jarak jauh, sehingga bisa melakukan macam-macam,” jelas Ruby.
Kategori berikutnya, yakni pemblokiran akun. Ruby menjelaskan mulai dari cara paling sederhana yakni dengan melakukan percobaan log in atau masuk ke akun WhatsApp dengan nomor ponsel korban berulang kali. Di samping itu, spyware juga dapat digunakan untuk melakukan pemblokiran akun whatsapp yang ditarget.
“Coba log in beberapa kali, di titik tertentu WhatsApp akan berpikir ada illegal access, lama-lama akun tersebut diblokir dulu untuk sementara,” jelasnya.
Ruby menerangkan, untuk mengembalikan riwayat aktivitas Whatsapp yang diretas sangat mungkin dapat dilakukan sekalipun ponsel tersebut hilang.
“Dengan ilmu digital forensik, itu bisa melakukan recovery hal-hal yang lebih sulit lagi,” jelasnya.
Hilangnya ponsel, jelas Ruby, tidak menjadi kendala besar untuk mengungkap riwayat percakapan akun Whatsapp. Pasalnya, kunci akses aplikasi Whatsapp berada pada nomor ponsel. Adapun nomor ponsel dapat kembali diakses dengan penerbitan kembali sim card tersebut melalui operator. “Tanpa handphone pun bisa, yang dibutuhkan hanya simcard,” paparnya.
Ruby menambahkan, riwayat percakapan Whatsapp juga dapat diungkap jika ada back-up data yang berada di sistem penyimpanan cloud.
”Ada dua teknik, satu lewat sim card, log in di device baru, kedua melakukan recovery dari data yang ada di cloud. Jadi simple, gak ada yang susah-susah,” ucapnya.
Ruby menyebut, untuk melakukan recovery data tersebut hanya butuh waktu hitungan jam. Sementara untuk mengungkap pelaku tindakan peretasan diperlukan analisis digital forensik, untuk waktunya bervariasi tergantung dari data yang tersedia.
“Hitungan kasarnya, rata-rata kasus itu pakai digital forensik, 2-3 minggu mestinya bisa selesai,” jelas Ruby.
“Kalau cukup lengkap datanya, gampang akses barang buktinya, dalam seminggu juga bisa selesai,” tambah Ruby.
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian menyebut hilangnya ponsel Brigadir J serta peretasan ponsel milik keluarganya merupakan bentuk upaya menghilangkan barang bukti dan menghambat pengungkapan kasus ini.
“Peretasan dan penghilangan ponsel tentu merupakan bentuk upaya kepolisian dalam menghilangkan bukti, dan menghambat fakta agar terbuka secara terang benderang,” ujarnya.
Rozy menduga adanya keterlibatan orang yang memiliki pengaruh kuat di institusi Kepolisian sehingga membuat pengungkapan kasus ini tak berjalan lazim.
“Melihat polanya memang agak sulit berharap terlalu banyak ke institusi kepolisian, sebab kasus-kasus semacam ini sulit dibongkar, apalagi melibatkan jenderal Kepolisian atau petinggi kepolisian. Terbukti misalnya terjadi dalam kasus laskar FPI dan Novel Baswedan,” tegasnya.