Jakarta, Gatra.com - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) bersama asosiasi lain yang berada dalam ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT) menolak revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Menurut Ketua Umum AMTI, Budidoyo penolakan ini khususnya terhadap adanya isu ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam PP 109/2012. Hal itu dianggapnya sebagai intervensi asing dalam pembentukan kebijakan dan kenaikan cukai.
"PP 109 Tahun 2012 adalah representasi dari FCTC karena memang banyak dari situ yang diadopsi oleh PP 109. Itu sudah berat, itu sudah hasil maksimal yang kita sepakati," katanya di Jakarta, Selasa (19/7).
FCTC merupakan perjanjian internasional tentang kesehatan masyarakat yang dibahas dan disepakati oleh negara-negara anggota WHO. Diinisiasi oleh negara-negara berkembang, seperti Amerika Latin, India, dan Thailand. Dalam sidang kesehatan sedunia pada 21 Mei 2003 lalu, Indonesia batal menandatangani perjanjian ini.
Ia menyebut, ratifikasi FCTC akan memberikan dampak buruk yang sangat besar terhadap ekosistem IHT. Apalagi, selama ini ekosistem IHT di Indonesia hanya dieksploitasi tanpa diberi kelonggaran. Baik dari sisi regulasi maupun lainnya.
"Kami yang bergerak di ekosistem IHT, ingin dan berharap diperlakukan secara adil," ucapnya.
Padahal, lanjut Budidoyo, kontribusi IHT terhadap negara cukup besar (kontribusi dari cukai dan pajak IHT sekitar 10% dari APBN). Sektor ini juga menyerap sekitar 24 juta tenaga kerja.
"Karena selalu dieksploitasi tapi tidak pernah diberi nutrisi takutnya nanti kita kekurangan gizi. Malah tidak bisa memberikan sumbangsih kepada negara," ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah untuk menghentikan proses revisi PP 109 tahun 2012. Pasalnya, kenaikan cukai rokok setiap tahun saja dinilainya sangat memberatkan IHT, khususnya petani.