Jakarta, Gatra.com - Kondisi ekonomi global bagi industri perusahaan rintisan (startup) akhir-akhir ini menjadi sorotan. Tak hanya dialami oleh startup di Amerika, dampak dari perubahan kondisi global ini juga mulai terasa di Indonesia, misalnya saja strategi efisiensi seperti PHK maupun hiring freeze yang telah dilakukan oleh beberapa startup tanah air di kuartal kedua tahun ini. Banyak pihak kemudian berpendapat bahwa industri ini tengah berada dalam kondisi yang populer disebut tech winter.
Tentunya perubahan kondisi makroekonomi, geopolitis dan dampak berkepanjangan dari pandemi Covid-19 dalam negeri membawa kekhawatiran bagi pelaku yang berada dalam industri ini. Meski demikian, banyak penggiat startup dalam negeri yang masih optimis akan kemampuan dan potensi talenta tanah air untuk bertahan di masa sulit. CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja bahkan meyakini bahwa perlambatan yang dihadapi hanya bersifat sementara sebagaimana musim dingin yang akan berganti menjadi musim semi.
Nicko menerangkan bahwa menahkodai startup saat ini memiliki prinsip yang sama dengan mengendarai mobil. “Bisnis adalah tentang keseimbangan. Para founders harus tau kapan harus injak gas untuk capai growth namun harus juga menyadari kapan waktu untuk injak rem, misalnya seperti saat ini," ungkapnya dalam keterangan resmi kepada Gatra.com, Selasa (19/7/2022).
Senada dengan Nicko, Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi turut menyampaikan optimismenya. Bagi Neneng, tech winter ataupun krisis untuk Indonesia bukanlah yang pertama kalinya.
“Bukan pertama kalinya Indonesia berada dalam periode yang sulit. Kita sudah mengalami pahitnya dua krisis ekonomi sebelumnya di tahun 1998 dan 2009, namun tidak menyurutkan tekad dan rasa percaya untuk terus menerobos maju. Kalau kita melihat posisi kita sekarang, kita bisa bangkit dan bahkan terus bertumbuh. Data-data tahun 2021 bahkan membuktikan Indonesia sebagai salah satu pendorong ekonomi digital di Asia Tenggara,” beber Neneng.
Data yang disebutkan Neneng mengacu pada sebuah riset yang mengatakan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksi menyentuh US$146 miliar pada 2025. Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari kepercayaan investor terhadap startup dalam negeri yang berhasil berkontribusi meraih 42% dari total pendanaan yang disuntik ke wilayah Asia Tenggara selama tahun 2021 lalu.
"Hal kunci yang harus dimiliki founder agar tetap berdiri tangguh selama periode sulit adalah fokus pada pengembangan produk dengan memanfaatkan data yang ada dan masukan dari pengguna, mempercepat jalan menuju profitabilitas, serta kemampuan untuk agile dalam melakukan pivot bisnis apabila diperlukan,” papar Neneng.
Guna membantu founders menavigasi masa sulit, belum lama ini Grab dan BRI Ventures kembali membuka program akselerasi gabungan Grab Velocity Ventures (GVV) Batch 5 X Sembrani Wira. Turut bekerja sama dengan Alpha JWC Ventures, pembukaan registrasi telah berlangsung sejak 21 Juni dan akan berakhir pada 22 Juli. Di gelombang kelima, target utama dari program ini adalah startup yang menawarkan produk/solusi bagi UMKM dan mereka yang memiliki model bisnis Direct-to-Consumer (D2C).
Dalam program intensif selama 12-16 minggu tersebut, peserta yang biasanya terdiri dari para founding team akan dibekali dengan mentorship dan workshop untuk mengasah strategi bisnis. Yang jadi ciri khas dari program ini adalah rangkaian program uji coba produk/solusi di ekosistem Grab yang memiliki basis konsumen dan mitra yang besar.
Tentunya hal ini sangat didambakan oleh startup tahap awal yang masih berproses mendapatkan akuisisi. Terakhir, para peserta terpilih juga akan mendapatkan akses networking dan pitching dengan modal ventura lokal maupun global untuk meningkatkan kesempatan mereka mendapatkan pendanaan.