Home Apa Siapa Konsep Badan Advokat Nasional Antarkan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto Raih Doktor

Konsep Badan Advokat Nasional Antarkan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto Raih Doktor

Jakarta, Gatra.com – Konsep Badan Advokat Nasional (BAN) untuk menyelesaikan sengkrut organisasi advokat yang terjadi saat ini mengantarkan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto meraih gelar doktor ilmu hukum dengan nilai cumlaude dari Universitas Borobudur Jakarta. Ia menuangkan konsep pembentukan BAN dalam disertasi “Politik Hukum Organisasi Advokat dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia”.

Tjoetjoe di Jakarta, Senin (18/7), menyampaikan hal tersebut dalam sidang terbuka promosi doktor ilmu hukumnya pada akhir pekan kemarin. Menurutnya, sengkarut wadah organisasi advokat juga dipicu ambigunya regulasi. Pasalnya, merujuk pada Undang-Undang (UU) Advokat Nomor 18 Tahun 2003, secara de jure adalah single bar atau wadah tunggal. Tapi kenyataannya (de facto), adalah multibar alias banyak wadah organisasi advokat. Pasalnya, bukan hanya karena banyak organisasi advokat, tetapi juga terjadi inkonsistensi putusan lembaga hukum.

“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam beberapa putusan-nya terjadi inkonsistensi bentuk keorganisasian advokat yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.

Pada Putusan MK No 014/PUU-I/2006, Putusan No 066/PUU-VIII/2010 dan Putusan 71/PUU-VIII/ 2010, lanjut dia, mengandung pengertian bahwa sistem keorganisasian advokat adalah single bar. Namun dalam Putusan MK No. 101/ PUU-VII/2009 tanggal 30 Desember 2009 dan Putusan MK No.112/ PUUXII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2015, mengandung pengertian bahwa sistem keorganisasian advokat adalah multi bar association.

Ambiguitas juga terjadi dalam ketentuan Mahkamah Agung (MA). Surat MA No. 052/ KMA/ V/2009 tanggal 01 Mei 2009 dan Surat Ketua Mahkamah Agung No. 089/ KMA/ VI/ 2010 mengarahkan organisasi advokat pada single bar association. Namun, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73/KMA/ HK.01/ IX/2015 mengarah pada multi bar association.

“Berdasarkan hal tersebut maka Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial tidak konsisten dalam memberikan solusi hukum kepada organisasi advokat. Tumpang tindih dan inkonsistensi tersebut membuat disharmoni peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Atas sengkarut tersebut, Tjoetjoe yang berprofesi sebagai advokat ini, dalam disertasinya menawarkan jalan tengah karena kalau diberlakukan multibar akan timbul berbagai permasalahan, antara lain tidak terjaminnya kualitas advokat dikarenakan setiap organisasi advokat dapat menentukan sendiri-sendiri standar serta kurikulum Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) maupun ujian advokat.

Kemudian, lanjut Tjoetjoe, masing-masing organisasi advokat akan memiliki kode etik yang berbeda-beda dan advokat dapat secara mudah berpindah ke organisasi lainnya apabila dikenai sanksi di organisasi asalnya.

“Saya menawarkan novelty untuk menjadi jalan tengah perbedaan pandangan antara single bar dan multibar itu dengan membentuk Badan Advokat Nasional,” katanya.

Menurutnya, Badan Advokat Nasional itu mempunyai beberapa kewenangan dan fungsi yang berbeda dengan organisasi advokat sebelumnya yang menjadi wadah tunggal organisasi advokat dan telah dituangkan secara lengkap dalam disertasi.

“Secara umum harus saya sampaikan bahwa Badan Avokat ini adalah single regulator, jadi regulator tunggal untuk mengatur kebijakan-kebijakan tentang organisasi advokat dan advokat sendiri,” ujarnya.

Tjoetjoe yang mendapuk presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini, menjelaskan, sesuai Pasal 18 Ayat (1) UU Advokat mengamanatkan bahwa organisasi adovokat bersifat mandiri atau independen. Namun dalam perkembangannya, terjadi pro-kontra.

“Ada dua pandangan. Jadi ada sebagian advokat yang setuju negara itu terlibat untuk mengatur advokat, tapi ada sebagian juga kawan-kawan advokat yang tidak setuju negara dilibatkan,” katanya.

Pro-kontra tersebut muncul karena tidak dilibatkannya negara, nyatanya advokat tidak bisa meyelesaikan sengkarut yang dihadapinya. Tjoetjoe mengaku sepakat dengan pihak yang berpandangan bahwa negara harus terlibat untuk mengatur kebijakan-kebijakan dunia advokat.

“Itu saya rasa yang paling tepat, karena dari pengalaman yang sekarang, negara tidak terlibat, yang terjadi bukan independensi, tapi yang justru terjadi kekacauan,” ujarnya.

Adapun kekacauan yang dimaksud adalah banyaknya keributan yang terjadi antarorganisasi advokat dan sesama advokat. Tjoetjoe optimistis kalau diatur secara tepat, tentu sesama organisasi advokat dan antaradvokat bisa saling menghormati dan menghargai.

Karena itu, Tjoetjoe optimistis bahwa BAN merupakan salah satu solusinya. Ia pun akan segera menyusun disertasinya menjadi buku dan menyosialisasikannya kepada para advokat, pemerintah, dan DPR untuk dijadikan bahan masukan guna menyusun perubahan UU Advokat.

“Perlunya rekontruksi terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang sistem keorganisasian Advokat yang berlaku di Indonesia. Rekontruksi tersebut terutama pada Pasal 28 Ayat (1) yang menegaskan Sistem Organisasi Advokat menggunakan bentuk single bar,” katanya.

Sementara itu, Co-promotor Sidang Doktoral Tjoetjoe, Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.H, menyampaikan, materi yang diteliti oleh Tjoetjoe tersebut sangat bagus karena menunjukkan persoalan dan jalan keluar yang dihadapai advokat.

Pada faktanya, lajut Laksanto, saat ini MA memberikan izin kepada beberapa organisasi. Menurutnya, mungkin tidak hanya ada 4-5 organisasi advokat, tetapi mungkin ada 10 organisasi advokat.

“Nah, ini dengan adanya konsep yang sangat bagus oleh Doktor Tjoetjoe akan membuka mata kita bahwa konsep ini, segera dibuat konsep akademis untuk disampaikan ke Kemenkum HAM, kemudian juga untuk masukannya kepada DPR, legislatif untuk dipertimbangkan,” katanya.

398