Jakarta, Gatra.com – Terkait sengkarutnya persoalan perdata antara debitur dan kreditur yang ditenggarai terjadi dikarenakan lebih banyak didorong aspek miskomunikasi. Hal itu memantik pengamat ekonomi, Ibrahim Assuaibi untuk angkat bicara terhadap kasus praperadilan yang didaftarkan Bank Mandiri pada Senin (11/7) pekan lalu.
“Saya tidak tahu siapa yang berada di belakang Bank Mandiri sehingga memilih melaporkan debiturnya ke pengadilan,” papar Ibrahim dalam rilis Minggu (17/7) malam.
Solusinya sederhana saja, para pihak harus bertemu dan duduk satu meja membicarakan solusi yang terbaik lanjutnya.“Jika tidak ini akan menjadi salah satu preseden buruk atas iklim investasi di Indonesia yang sedang bagus saat ini,” tambahnya.
Ibrahim mengingatkan perlunya seluruh pihak melakukan introspeksi diri sehingga tidak ada dampak buruk bagi tumbuhnya investasi asing. Apalagi di tengah kondisi membaiknya surplus perdagangan komoditas batu bara saat ini.
“Bayangkan saja, Jerman rela datang ke Indonesia untuk menyampaikan permintaan ekspor batu bara Indonesia,” tambah Ibrahim.
Seperti yang diketahui, sejumlah negara di Eropa dan Asia mengajukan permohonan resmi untuk meminta kuota batu bara di negara mereka.
Bahkan Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan kegiatan ekspor ke negara-negara Eropa seperti Polandia dan Jerman sudah berjalan.
Kegiatan jual beli batu bara oleh negara-negara Eropa itu dilakukan secara Bussines to Bussines (B to B). "Kami mendengar sudah ada beberapa cargo ke beberapa negara Eropa. Yang saya dengar ya sudah ada ke Jerman ke Polandia," terang Hendra.
Momentum ekonomi yang sangat bagus ini, menurut Ibrahim, seharusnya dijaga dengan baik oleh seluruh pemangku kepentingan bisnis di Indonesia. Kasus praperadilan Bank Mandiri kepada Titan berpotensi merusak gambaran baik iklim investasi di Indonesia. “Mereka cukup duduk bersama dan berunding, kok,” ungkap Ibrahim.
Pernyataan Ibrahim Assuaibi tersebut senada dengan semangat konferensi Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable yang dibuka Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Nusa Dua Bali, Kamis (14/7). Di mana salah satu aspek kunci Sustainable Finance adalah pada Governance.
Untuk kepentingan keberlanjutan tersebut, diperlukan penyediaan pembiayaan guna mempercepat tujuan nasional transisi energi nasional. Salah satunya dengan memobilisasi sumber pendanaan komersial maupun nonkomersial secara berkelanjutan.
"Ini benar-benar tantangan teknis yang sangat menantang tetapi juga tantangan finansial bagi kita semua," kata ucapnya.
Karena tantangannya besar, dia menuturkan, pemerintah mengharapkan keterlibatan para investor, lembaga keuangan internasional untuk berkontribusi dalam proyek transisi energi. Misalnya Bank Dunia, ADB, Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA), Aliansi Keuangan Swasta Global, Aliansi Keuangan Glasgow, termasuk sektor swasta, filantropi, dan bank pembangunan multilateral.
Harapan besar tersebut kontras dengan fakta yang terjadi. Ironisnya, Bank Mandiri justru lebih memilih mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tiga hari sebelum konferensi Sustainable Finance di Nusa Dua.
Sebelumnya ramai diberitakan munculnya persoalan kredit fasilitas terkait pembayaran cicilan yang tersendat. Pihak Bank Mandiri yang merupakan bagian dari Kreditur Sindikasi yang terdiri dari Bank CIMB Niaga, Credit Suisse, dan Trafigura, menuding debiturnya PT Titan Infra Energy ngemplang utang sindikasi tersebut sebesar USD450 juta.
Namun pernyataan ini dibantah Titan dengan menunjukkan bukti bahwa sejak ditekennya perjanjian fasilitas kredit antara kreditur sindikasi pada Agustus 2018, Titan telah membayar kewajibannya.
Hingga periode tahun 2021, Titan tetap melakukan pembayaran kepada kreditur sindikasi sekurangnya USD46.446.198 (empat puluh enam juta empat ratus empat puluh enam ribu seratus sembilan puluh delapan dolar AS).
Begitu juga selama semester 1 periode tahun 2022 Titan telah melakukan pembayaran kepada kreditur sindikasi sekurangnya USD35.125.382 (tiga puluh lima juta seratus dua puluh lima ribu tiga ratus delapan puluh dua dolar AS). Seluruh pembayaran tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam CAMA yakni dengan pendebetan yang dilakukan oleh Bank Mandiri selaku Agen Fasilitas.
Bahkan menurut Dirut Titan Infra Energy, Darwan Siregar, akibat dampak pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pihaknya bahkan berinisiatif melakukan permohonan permohonan restrukturisasi hingga beberapa kali sampai 2022. Hingga saat ini pihak Bank Mandiri menurutnya tidak memberi feedback yang jelas.