Bogor, Gatra.com – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat jumlah WNI di Luar Negeri sebanyak 3 juta orang, berdasarkan nama dan alamat. Tapi mengingat fakta bahwa ada lebih banyak WNI yang berangkat menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non-prosedural, maka diperkirakan jumlah sebenarnya mencapai tiga kali lipatnya atau sekitar 9 juta orang.
Jumlah kasus yang dihadapi PMI trennya selalu meningkat, tidak pernah menurun. Masalah paling besar adalah soal keimigrasian. Lalu disusul masalah ketenagakerjaan, dimana mayoritas gaji tidak dibayar. Selain itu ada kasus pidana, juga kasus lain yang lebih detil seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO), penyanderaan, maupun para anak buah kapal (ABK) yang memiliki masalah di kapal.
“Perlindungan WNI di LN merupakan program prioritas presiden yang dikawal KSP dalam renaksi bersama Kemenlu, Kemenko Polhukam, dan Bappenas,” ujar Tenaga Ahli Utama Bidang HAM di Kantor Staf Presiden RI, Prof.Siti Ruhaini Dzuhayatin di sela-sela Focus Group Discussion “Uji Publik Rancangan Pedoman Pengelolaan Tempat Singgah Sementara (TSS) pada Perwakilan RI di Luar Negeri” di Hotel Swiss-Belinn Bogor, Rabu (13/7).
Meski negara sudah menyiapkan berbagai regulasi, termasuk penyediaan shelter, kerap terjadi PMI menyalahgunakan fasilitas yang ada. Dalam diskusi dua hari tersebut terungkap bahwa banyak kasus serupa terjadi di beragam lokasi KBRI maupun KJRI. Para PMI yang sengaja berangkat non-prosedural tapi bergantung pada pendampingan dan pemulangan oleh pemerintah Indonesia. Atau yang melakukan pelanggaran hukum, tapi memilih berlindung di shelter agar tidak terjangkau aparat lokal. Banyak kejadian berulang: orang yang sama, kasus yang sama, masuk ke shelter yang sama.
“Adakalanya Perwakilan RI enggan menolak orang-orang ini karena takut diviralkan,” ungkap Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu, Judha Nugraha.
Melihat fakta moral hazard WNI itu, Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani menegaskan bahwa legislatif siap membela pemerintah ketika menolak WNI yang dianggap tak sesuai prosedur. “Kemlu tidak perlu takut viral. Kalau memang tidak [kasus] prioritas, tidak usah dilayani,” tegas politisi Golkar tersebut di tempat yang sama
Judha menjelaskan bahwa di sejumlah negara maju, sudah ada ketentuan detil terkait apa yang bisa dibantu atau tidak dibantu oleh staf kedutaan. Dia mencontohkan Australia yang menerbitkan Consular Services Charter. Salah satu poin misalnya bagi warga negara yang berhadapan dengan kasus hukum di luar negeri, maka kedutaan akan memberikan daftar nama pengacara tapi tidak akan membiayai pengacara tersebut.
“Idealnya ada hak dan kewajiban. WNI kita ini punya hak mendapat perlindungan dari negara, tapi mereka juga punya kewajiban untuk mematuhi hukum negara tersebut,” tambah Judha.
Dalam rancangan pedoman TSS ini ditetapkan bahwa setiap WNI dibatasi tinggal di TSS maksimal selama enam bulan atau juga 2x3 bulan, tapi tidak lebih dari satu tahun. Namun tetap mempertimbangkan untuk kasus-kasus khusus yang terjadi. Namun, Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih malah menyarankan durasi maksimal tinggal cukup 8 bulan saja. Ini untuk menghindari overload dari TSS terkait dan meminimalisir moral hazard.