Palembang, Gatra.com - Untuk mendapatkan cita rasa yang baik terhadap kopi yang dipasarkan, Gerai Hutan, bukan hanya hunting buah kopi petik merah, melainkan terjun langsung ke petani, melakukan pendampingan terkait pembibitan, budi daya, perawatan serta proses pascapanen.
Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), diketahui merupakan daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, dengan jumlah produksi mencapai 198 ribu ton per tahunnya. Namun minimnya pengetahuan dan pemahaman petani kopi terutama dalam proses pemetikan biji kopi yang berkualitas dan memiliki nilai ekonomi tinggi, mempengaruhi cita rasa yang didambakan penikmat kopi.
"Kopi adalah koor bisnis kami. Sebagai penikmat dan pengelola kedai kopi, kami (Gerai Hutan) ingin menyajikan kopi yang memiliki cita rasa berkualitas. Maka itu, kami mencoba untuk terlibat langsung mulai pembibitan hingga pascapanen," ujar Manajer Gerai Hutan Aidil Fikri alias Baba, kepada Gatra.com di Palembang, Rabu (13/7).
Ia menjelaskan, dalam menggeluti usahanya dan terjun melakukan pendampingan kepada petani kopi, Gerai Hutan yang digagas Hutan Kita Institue (HaKI), sebuah organisasi lingkungan di Sumsel, itu melakukan dampingan di area perkebunan kopi rakyat yang mendapat manfaat program perhutanan sosial. “Mutu kopi petani masih rendah dan terdesak oleh produk olahan modern. Sehingga harga terbilang rendah dan sulit mengkases pasar,” jelasnya.
Baba menyebut, ada lima wilayah dampingan yang meliputi wilayah perhutanan sosial Semende (Hutan Desa Cahaya Alam), Kabupaten Muaraenim; Hutan Kemasyarakatan (HKM) (Hutan Lestari) Kabupaten OKU Selatan; HKM Kibo Kota Pagaralam, HKM Cogong Kabupaten Musirawas, dan wilayah Tanjung Sakti Kabupaten Lahat.
"Melalui pelatihan atau transfer knowledge, petani kopi yang berada di wilayah dampingan fokus di hulu. Gerai Hutan ada juga Koperasi Pesona Hutan Kita, yang memang fokus di hilir, mulai dari profiling, rasa kopi, roasting (memanggang biji kopi), barista, sampai dengan proses pasar, agar dapat menjawab permasalahan petani kopi dalam pengolahan pascapanen yang masih tradisional." tuturnya. Mereka bukan hanya bertani, tapi diajari juga teknik pengolahan Natural, Honey, Semi Wash, dan Full Wash, serta praktek roasting dan teknik seduh manual brew.
Dengan begitu, ada sinergi mulai di hulu ke hilir dan tentunya akan mengangkat kesejahteraan petani dan nama kopi Sumsel, pada umumnya. "Kami juga memberikan modal bergulir kepada kelompok petani kopi dampingan sebesar Rp30 juta. Karena memang selama ini mereka (petani kopi) selalu mengeluhkan soal biaya tujuannya agar kelompok lebih mandiri secara usaha," imbuhnya.
Kopi Petik Merah
Cita rasa kopi bukan hanya kepiawaian barista dalam meracik buah kafein yang pertama kali ditemukan di Ethiopia, Afrika Timur, pada abad ke-9. Melainkan, pemanenan menjadi faktor penting untuk mendapatkan cita rasa dan kualitas kopi yang baik, yakni hanya memetik buah merah.
"Dengan sistem panen petik merah, bukan hanya menciptakan rasa dan aroma yang nikmat. Secara ekonomi juga mempengaruhi harga yang berlipat ganda di banding dengan panen asal (pola lama)atau petik secara serampangan," kata Baba.
Untuk merubah kebiasaan tersebut, bukan perkara mudah. Bahkan pihaknya melakukan riset produksi selama tiga tahun. "Kalau panen asal, itu memang bisa mendapatkan hasil produksi yang banyak. Berbeda ketika petik merah. Namun keunggulan dari petik merah, selain harga tinggi juga tanaman terjaga. Peguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) perlu dilakukan karena petani tidak cukup hanya medapat izin kelola kawasan hutan.
"Petik asal bisa menyebabkan luka pada tangkai yang penyembuhannya memakan waktu lama. Hal demikian mempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas biji. Berbeda ketika petik merah semua bisa terjaga," ucapnya. Selain itu yang tidak kalah penting imbuhnya, peningkatan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan juga manfaat ekologinya.
Perbandingan harga kopi petik asal dan petik merah, perkilogram kopi petik asal kupas kering kisaran Rp18.000-Rp20.000 baik jenis robusta maupun arabika. Sementara untuk petik merah untuk kopi robusta berkisar Rp35.000-Rp45.000 perkg, sedangkan arabika mencapai Rp75.000-Rp100.000 perkg.
"Jadi secara perhitungan sama, karena kuantitas ditutupi oleh harga yang lebih tinggi (petik merah). Dan kalau petik merah itu waktu lebih efisien. Tidak perlu biaya membawa kopi dari kebun ke desa, tidak perlu lagi proses penjemuran, karena langsung ditampung KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) yang merupakan dampingan kami," ungkapnya.
Pada kesempatan ini Baba juga menceritakan, untuk sampai ke penikmat kopi mulai pemanenan hingga proses rasting bisa mencapai 1 bulan lamanya. Dengan rincian, proses pengeringan yang memakan waktu hingga 3 minggu bahkan lebih guna mencapai kadar air 11-12 persen.
"Adapun jumlah produksi kopi petik merah yang kami hasilnya sekali panen mencapai 6 ton ini baru dari petani dampingan (Cahaya Alam)," katanya.
Suplai Gerai Kopi di Palembang
Beberapa tahun terakhir trand warung kopi (caffe) di Kota Palembang, tumbuh subur. Meski diterpa Covid-19 usaha caffe masih banyak yang bertahan bahkan pascamelandainya penyebaran virus yang bermula dari Wuhan, Cina, dan masuk ke Indonesia pada Maret 2020, saat ini kembali membaik.
"Ada sekitar 20 gerai kopi di Palembang, yang kami suplai. Setidaknya kami mampu menghabiskan 100 kg kopi baik jenis robusta maupun arabika yang sudah diroasting setiap bulannya. Kami juga mendapat pesanan dari luar Sumsel," kata Baba.
Ia juga berharap, semakin banyak pihak yang peduli meningkatkan sektor pertanian kopi guna mendorong perekonomian petani yang dampaknya juga dirasakan bagi masyarakat di perkotaan.
"Sekarang ini kedai kopi semakin tumbuh di Palembang, dan ini merupakan salah satu koor bisnis yang banyak digerakkan oleh kaum milenial. Saya tidak tahu persis jumlah kedai kopi di Palembang, tetapi berdasarkan informasi yang saya terima lebih dari 200 kedai kopi khusus di Palembang," ujarnya.