Kayuagung, Gatra.com – Novriansyah (35) seorang petani asal Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, mampu hasilkan beras organik dari pupuk yang diproduksi sendiri.
Semula, ia bertani bergantung pada pupuk kimia umumnya petani di sana dengan harapan mendapat hasil melimpah. Namun, hal itu (bertani menggunakan pupuk kimia) perlahan ditinggalkan dan beralih dengan sistem pertanian organik.
“Pertanian organik baru saya jalani sekitar 4 tahun terakhir. Jadi sampai sekarang lahan yang benar-benar full organik seluas seperempat hektar, sisanya statusnya masih semi organik," ujarnya, Selasa (12/7). Semi organik, karena petani di kanan kiri sawahnya masih menggunakan pupuk kimia.
Di mana saat awal perubahan pemberian pupuk organik, ia pun dihadapkan pada persoalan hasil panen jauh menurun. Pada tahun pertama peralihan pemberian pupuk organik satu hektar hanya menghasilkan sekitar 4 ton gabah kering giling (GKG).
“Tetapi di tahun kedua, ketiga semakin meningkat dan untuk tahun ke empat kemarin, sudah kembali normal seperti saat memakai pupuk kimia yaitu 6 -7 ton,” tuturnya.
Dia mengatakan kedepan bakal ada penambahan jumlah lahan yang akan menerapkan pemupukan secara organik. “Insyaallah ke depan ada penambahan dari lahan persawahan milik tetangga sekitar 7 - 8 ha,” katanya.
Ia juga menceritakan, sulit beradaptasi lahan yang sebelumnya diberi pupuk kimia dan beralih dengan pemberian pupuk organik dikarenakan kadar residu dari zat-zat kimia yang telah tercampur ke dalam tanah.
Kendati demikian, kerja kerasnya bertani organic berbuah manis, selain beras organik memiliki kualitas yang bagus dengan rasa yang lebih segar dan wangi. Apalagi sudah dijamin lebih sehat untuk dikonsumsi.
“Harga berasnya juga jauh lebih baik (mahal) dibanding beras menggunakan pupuk kimia, yakni berkisar Rp15.000 per kg untuk beras organic; Rp8.500-9.000 untuk beras biasa,” ucapnya seraya mengatakan, pangsa pasarnya juga tertentu.
Tips Membuat Pupuk Organik
Sementara, untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik, ia mengaku berbekal pengalaman dan pelatihan yang telah di ikuti selama ini. Setidaknya ia memproduksi empat jenis pupuk cair dan satu pupuk padat, di mana bahan utamanya ia dapatkan di sekitar rumahnya.
Mulai dari pupuk padat bernama kohe, pupuk cair urea, fosfat, pengganti KCL, dan pupuk PGPR. Adapun proses pembuatannya, bahan pembuatan pupuk organik cair (POC) pengganti urea yaitu rerumputan lalu dicacah dan ditambahi dengan gula cair dan bakteri EM4 dan tunggu dipersentasikan selama kurang lebih 15 - 30 hari. Lalu POC fosfat dengan bahan bonggol pohon pisang kemudian dicacah halus dan diberikan molase (gula cair) serta tambahkan bakteri EM4 secukupnya tunggu selama 1 bulan.
Sedangkan pupuk pengganti KCL bisa diolah dari sabut kelapa dicacah lalu diberi air tambahkan juga gula cair dan beri bakteri EM4 dan fermentasi juga selama 1 bulan. Adapun pembuatan POC PGPR bahan bakunya dari akar-akar bambu, akar putri malu atau akar pisang yang banyak mengandung bakteri.
Bahan dari akar-akaran tersebut lalu dicampur air matang dan direndam selama 5 hari. Setelah mendapat biangnya, barulah dicampur dedak yang sudah direbus dan tambahkan terasi serta campurkan dengan gula cair. Tinggal tunggu selama 15 - 30 hari baru siap disemprotkan.
Dengan sistem pembuatan pupuk organik ini, dirinya dapat melakukan penghematan biaya perawatan sawah miliknya. Di mana seluruh pembuatan POC tersebut hanya membutuhkan molase (gula cair) dan bakteri EM4.
“Jadi hanya dua bahan yang dibeli yaitu gula cair perliter Rp20.000 dan bakteri EM4 perbotol hanya Rp35.000. Sedangkan bahan baku lainnya bahan dari sekitar atau mudah didapat,” terangnya. Biaya jauh lebih irit jika dibandingkan membeli pupuk kimia.
Dirinya berharap agar pemerintah ataupun pihak terkait dapat membantu dari segi pemasaran beras organik tersebut. Agar lebih banyak petani yang beralih memakai pupuk organik.
“Kalau bisa kami ini diarahkan dimana tempat penjualan yang mau menerima beras organik dalam jumlah banyak. Serta diberikan bantuan untuk mengurus ijin untuk mendapatkan label beras organik dan Standar Nasional Indonesia (SNI),” pungkasnya.