Jakarta, Gatra.com - Masyarakat Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak proses pidana gratifikasi Lili Pintauli Siregar tetap dilanjutkan pasca pengunduran dirinya sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Diketahui Lili mengundurkan diri setelah muncul adanya dugaan pelanggaran kode etik terkait pemberian fasilitas akomodasi hotel hingga tiket menonton ajang balap MotoGP 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"KPK seharusnya tetap mendalami terkait dugaan pidana gratifikasi atau suap, karena keduanya merupakan hal yang terpisah," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (11/7/2022).
Boyamin mengatakan jika sidang etik terus dilanjutkan dan Lili diberikan sanksi berat, maka diminta mengundurkan diri. "Soal pengunduran diri ini terkait dengan kode etik, karena kode etik itu kalau dinyatakan pelanggaran berat, sanksi yang berat adalah pengunduran diri. Maka ia diminta untuk mengundurkan diri," ujarnya.
MAKI menilai, dengan mundurnya Lili sebagai wakil ketua KPK adalah sebagai bentuk rasa bersalahnya. "Sekarang sudah mengundurkan diri karena dia diduga merasa bersalah, maka dia mengundurkan diri karena ini sudah kasus yang kedua, itu urusannya dewan pengawas," kata dia.
Namun terkait dengan dugaan tindak pidana suap atau gratifikasi, Boyamin mengatakan bahwa KPK harus menindaklanjutinya. "Jika ada dugaan hukum di pidana, maka tidak ada proses batal atau gugur karena dua hal yang terpisah. Karena baik Pasal 36 UU KPK berkaitan dengan melakukan komunikasi dengan pihak yang sedang jadi 'pasien' KPK atau ketentuan suap atau gratifikasi, itu berdiri sendiri meskipun ruhnya pelanggaran kode etik, namun hukum pidananya berdiri sendiri dan tidak batal dan bisa diproses hukum," lanjutnya.
"KPK keras dengan orang lain, maka juga harus keras dengan dirinya sendiri, yaitu dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di dalam KPK, baik pimpinan maupun pegawainya," kata Boyamin.
Ia pun kemudian memberikan contoh AKP Suparman yang dulu pernah tersandung kasus karena diduga mengancam atau memeras saksi. "Maka dia juga dibawa ke proses hukum, demikian kalau di unsur pimpinan dan seluruh pegawai KPK sebelumnya," kata dia.
Boyamin menilai jika penegakan hukum di KPK hanya tegas di awal-awal, meskipun Dewan Pengawas merekomendasikan untuk dilakukan hukum pidana, namun nyatanya anggota yang dianggap mencuri atau menyalahgunakan barang bukti hanya dipecat.
Untuk itu, ia mendesak agar KPK menindak pimpinan KPK yang diduga melakukan suap dan gratifikasi dengan cepat dan keras. Jika tidak, menurutnya Kejaksaan Agung atau Polri bisa menindaklanjutinya. "Tapi kan bisa malu kalau yang menangani Kejaksaan Agung atau Kepolisian, mestinya tetap kembali ke KPK untuk dilakukan hukum pidananya," tambahnya.
Proses tersebut dilakukan karena menurutnya terdapat dugaan suap atau gratifikasi dan pelanggaran Pasal 36 UU Nomor 19 tahun 2019 Revisi UU KPK. "Di sana menyebutkan pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung atau tidak, dengan tersangka atau orang lain yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani, ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara," katanya.
Hal senada juga diutarakan oleh Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar, ia mengatakan bahwa pengunduran diri tersebut tak menghentikan kasus gratifikasi yang diduga diterima Lili. "Pengunduran diri menghentikan proses etik. Namun tidak menghentikan gratifikasi," ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa KPK seharusnya bisa menjadi percontohan dalam upaya pemberantasan korupsi dengan tetap menindaklanjuti dugaan gratifikasi Lili. "Kalau ada dugaan gratifikasi harus segera ditindak baik terduga penerima dan pemberinya. Karena KPK adalah percontohan lembaga anti korupsi jadi jangan sampai kebobolan," kata Akbar.
Sebelumnya, Stafsus Mensesneg Faldo Maldini mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerima surat pengunduran diri Lili Pintauli Siregar. "Surat pengunduran diri Lili Pintauli Siregar telah diterima oleh Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sudah menandatangani Keppres Pemberhentian LPS (Lili Pintauli Siregar)," kata Faldo Maldini kepada wartawan, Senin (11/7/2022).
Ia mengatakan bahwa penerbitan Keppres tersebut dilakukan sebagai bagian administrasi sesuai peraturan perundang-undangan. "Penerbitan Keppres tersebut merupakan prosedur administrasi yang disyaratkan dalam Undang-Undang KPK," kata dia.