Home Nasional Ombudsman Temukan Dugaan Maladministrasi Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan

Ombudsman Temukan Dugaan Maladministrasi Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan

Jakarta, Gatra.com – Ombudsman RI menemukan tiga bentuk maladministrasi dalam pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Ombudsman RI juga menyampaikan sejumlah tindakan korektif yang harus ditindaklanjuti oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam kurun waktu 30 hari.

“Berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, BPJS Ketenagakerjaan terbukti maladministrasi berupa tindakan tidak kompeten, penyimpangan prosedur dan penundaan berlarut dalam pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial,” ujar Anggota Ombudsman, Hery Susanto dalam siaran pers yang diterima Gatra.com, Sabtu (9/7).

Hery menyebutkan, bentuk maladministrasi tidak kompeten yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan di antaranya pelaksanaan akuisisi kepesertaan Penerima Upah (PU) dan Bukan Penerima Upah (BPU) tidak berjalan optimal. Selain itu, Hery juga menyatakan, BPJS Ketenagakerjaan tidak optimal mengawal pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Menurutnya, dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan di lingkup Kemnaker RI sangat terbatas dan hanya di level provinsi berdampak lemahnya pengawasan dan penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini mengakibatkan rendahnya kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

“Problem ini harus diselesaikan dengan perbaikan regulasi terkait. Selain itu harus ada perbaikan kualitas SDM BPJS Ketenagakerjaan dalam hal rekrutmen peserta dan pelayanan kepesertaan,” kata Hery.

Sedangkan, bentuk penyimpangan prosedur yang ditemukan Ombudsman di antaranya pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan, perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan, belum dilaksanakannya upaya penyelarasan regulasi untuk optimalisasi akuisisi kepesertaan dan pelayanan klaim manfaat.

“Terkait klaim secara kolektif ini dapat menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oknum. Padahal hubungan kepesertaan adalah antara kedua belah pihak, yaitu antara pihak BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta, maka proses klaim seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak,” Hery mengungkapkan.

Sedangkan, bentuk maladministrasi penundaan berlarut yang ditemukan Ombudsman adalah pelayanan pencairan klaim manfaat yang masih terjadi hambatan. “Pengawasan dan pengendalian penjaminan sosial oleh pihak DJSN dan Dewas BPJS Ketenagakerjaan tidak berjalan optimal. Bahwa terjadinya problem pencairan klaim manfaat hendaknya menjadi perhatian untuk dibuatkan saran alternatif dan perbaikan pelayanan kepada BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Ombudsman memberikan sejumlah tindakan korektif yang harus dilaksanakan oleh Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan sebagai pihak terlapor dalam kurun waktu 30 hari mendatang. Pertama, agar Dirut BPJS Kenetagakerjaan melakukan sosialisasi, koordinasi dengan pihak terkait dalam rangka percepatan akuisisi kepesertaan pada sektor PU, BPU, pegawai pemerintah Non-ASN dan termasuk program afirmasi Penerima Bantuan Iuran (PBI), dengan menyusun rencana dan penahapan akuisisi kepesertaan.

Kedua, menyiapkan struktur organisasi kerja dan SDM yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas untuk mendukung terselenggaranya program yang diamanatkan oleh regulasi termasuk dalam merespons tuntutan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial. Ketiga, agar berkoordinasi dengan pihak pemerintah, pelaku usaha dan pekerja dalam hal penetapan batas usia pensiun agar dibuat regulasi dan ketetapan yang relevan mengenai batas usia penerima manfaat Jaminan Hari Tua. Terakhir, Ombudsman juga meminta agar BPJS Kesejahteraan konsisten dalam penggunaan nama BPJS Ketenagakerjaan sesuai undang-undang.

Selain itu, Ombudsman juga memberikan tindakan korektif kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selaku pihak terkait. Di antaranya, agar Menko Bidang Perekonomian membuat perencanaan dan penyiapan peraturan pemerintah terkait program PBI terhadap pekerja yang berstatus penyandang masalah sosial, sesuai amanat pasal 19 ayat 5 huruf d UU 24 Tahun 2011, menyusun perencanaan bagi penyempurnaan regulasi yaitu revisi Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.

Menko Bidang Perekonomian diminta untuk membuat perencanaan bagi penyempurnaan regulasi dan atau mengusulkan kepada DPR RI untuk dilakukan yaitu revisi Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang mengatur sanksi administrasi bagi Pelaku Usaha yang tidak mendaftarkan pekerja ke BPJS ketenagakerjaan, dan revisi Pasal 55 yang menyebutkan bahwa Pemberi Kerja tidak membayarkan iuran dengan sanksi ancaman pidana denda dan kurungan.

“Seharusnya bagi pelanggaran berupa tidak menjalankan kewajiban mendaftarkan Pekerja sebagai Peserta BPJS dapat diberikan sanksi yang setara berupa denda dan pidana,” tegas Hery.

162