Cambridge, Gatra.com- Seseorang yang cepat marah ketika melewatkan jam makan siang karena satu atau lain hal kemungkinan adalah sesuatu yang wajar. Pasalnya, tim ilmuwan psikologi baru-baru ini telah mengonfirmasi bahwa keadaan lapar dilaporkan tehubung dengan perasaan cepat marah dan level dengan kesenangan yang lebih rendah. Fenomena marah saat lapar ini disebut juga sebagai “hangry”.
Dilansir dari abstrak makalah penelitian itu, istilah "hangry" mengacu pada gagasan bahwa orang menjadi marah ketika lapar. Menurut The Guardian, istilah tersebut pertama kali didefinisikan di internet sekitar tahun 2005. Walau demikian, masih sangat sedikit penelitian yang secara langsung membuktikan secara empiris terkait sejauh mana hubungan antara rasa lapar dan emosi negatif.
Dalam salah satu riset awal yang menelaah terkait bagaimana rasa lapar mempengaruhi emosi keseharian mereka, para tim peneliti psikolog tersebut menemukan bahwa semakin banyak orang merasa lapar, semakin marah jadinya.
Riset yang berjudul “Hangry in the field: An experience sampling study on the impact of hunger on anger, irritability, and affect” ini bermula setelah salah satu peneliti, Viren Swami, psikolog sosial di Anglia Ruskin University, Cambridge, United Kingdom, pada suatu kesempatan diberitahu koleganya bahwa ia sedang berada dalam kondisi “hangry”. Ia pun bertanya-tanya apakah “hangry” adalah sebuah fenomena yang nyata dan memiliki basis ilmiah.
Viren bekerja sama dengan peneliti dari Austria dan Malaysia dan merekrut 64 orang berusia 18 hingga 60 tahun untuk direkam riwayat emosi dan rasa lapar mereka lima kali sehari selama tiga minggu. Latar dari penelitian ini bukanlah setting lab, tetapi setiap partisipan diminta untuk memantau rasa lapar dan emosi mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada awalnya, terdapat 121 partisipan dalam studi ini. Dalam perjalanannya para partisipan tersebut tereliminasi karena tidak menyelesaikan semua survei.
Hasil dari penelitian tersebut dipublikasikan dalam Plos One. “Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hangry adalah [sebuah fenomena yang] nyata, sejauh rasa lapar dikaitkan dengan rasa cepat marah dan kesenangan yang lebih rendah, dalam sampel kami selama tiga minggu,” tulis para peneliti dalam bagian kesimpulan di makalah penelitian. Temuan ini tetap signifikan setelah mengontrol jenis kelamin, usia, indeks masa tubuh, perilaku diet, dan siafat marah dari peserta penelitian.
Walaupun penelitian ini tidak berfokus pada solusi penanganan saat seseorang merasa “hangry”, peneliti percaya bahwa mampu mengenali dan melabeli emosi itu sendiri dapat membantu untuk meregulasi emosi yang sedang dialami. “Sering kali, kita mungkin menyadari apa yang kita rasakan teteapi tidak memahami penyebabnya. Jika kita bisa memberi label, kita lebih mampu melakukan sesuatu terkait hal itu,” kata Swami dilansir dari The Guardian.
Para peneliti memiliki sejumlah hipotesis yang bertujuan untuk menjelaskan mengapa rasa lapar dapat mengendalikan emosi kita. Salah satunya didasarkan pada penelitian yang menunjukkan gula darah rendah meningkatkan impulsivitas, kemarahan, dan agresi. Tetapi tidak jelas apakah kehilangan kendali diri seperti itu dapat timbul dari penurunan kecil glukosa darah. Yang lain mengusulkan bahwa ketika orang lapar, mereka lebih cenderung melihat dunia melalui mata yang mudah tersinggung.
Terlepas dari mekanismenya, Swami percaya penelitian ini memiliki poin penting. Salah satu contohnya anak-anak yang lapar berangkat ke sekolah cenderung tidak belajar secara efektif, dan lebih cenderung memiliki masalah perilaku. Maka dari itu, memastikan siswa makan dengan baik dan benar harus jadi prioritas. “Sangat penting untuk dapat mengidentifikasi emosi seperti mabuk sehingga kami dapat mengurangi efek negatifnya,” katanya.