Selandia Baru, Gatra.com -- Selandia Baru sedang mengalami peningkatan kasus Covid-19 dan ahli memperingatkan bahwa Negara tersebut berada di ambang gelombang Omicron yang baru. Hal itu dinilai ahli karena adanya beberapa faktor seperti peningkatan rata-rata angka kasus, kekebalan yang berkurang, banyaknya varian menular, dan tibanya musim dingin.
Para pakar kesehatan masyarakat khawatir terkait pemerintah dan juga masyarakat yang saat ini sedang fokus untuk masa transisi dari pandemi ke normal yang baru. Pasalnya Negara tersebut baru-baru ini telah mengeluarkan pencabutan mandat vaksin Covid-19. Ahli khawatir pemerintah dan juga masyarakat tidak mengambil langkah yang dibutuhkan untuk mengendalikan penularan.
“Ada setiap indikasi bahwa … pandemi semakin intens di Selandia Baru,” kata pakar kesehatan di Universitas Otago, Prof Michael Baker, dilansir dari The Guardian.
Kasus di Selandia terus meningkat dan pada hari Selasa waktu setempat rata-rata kasus selama tujuh hari di Negara itu tercatat sebanyak 7.246. Angka tersebut naik dari 5.480 pada minggu lalu dan menjadi titik tertinggi dalam lebih dari sebulan. Selain itu, tingkat kematian harian dan kasus di rumah sakit juga mengalami peningkatan. Pada minggu ini, 487 orang dirawat di rumah sakit dan angka itu menjadi jumlah tertinggi sejak akhir April.
Pada hari Selasa, kasus yang dilaporkan melonjak menjadi 9.629. Menanggapi angka-angka itu, perdana menteri Jacinda Ardern mengatakan dia “tidak berharap” bahwa pembatasan Covid yang lebih ketat akan diperlukan. “Ingatlah bahwa kita memiliki aturan penting yang berada di pengaturan [tanda] oranye yang ada untuk melindungi kami,” katanya.
Oranye yang dimaksud oleh Jacinda adalah pemberian label pada sebuah zona seperti lampu lalu lintas. Sebuah zona yang tergolong dalam kategori “orange”, dalam hal ini Selandia Baru, merujuk pada beberapa aturan di antaranya seperti tetap bisa melakukan aktivias sehari-hari dengan tetap memakai masker.
Ahli mikrobiologi dan komunikator Covid-19 Dr Siouxsie Wiles mengatakan bahwa masyarakat dapat melakukan aktivitas seperti biasa adalah sebuah angan-angan belaka. "Saya pikir terdapat narasi di seluruh dunia bahwa Anda baru saja terinfeksi [Covid-19], berurusan dengannya, dan selesai. Tidak ada satupun dari hal ini yang mendapatkan garansi," katanya.
"Terdapat unsur angan-angan di sana, dan ada unsur 'jika kita mengabaikannya akan hilang' - tapi tentu saja bukan itu yang terjadi pada masalah ketika Anda mengabaikannya. Kita perlu melakukan yang lebih baik,” ujar Michael Baker. “Kita perlu berpikir cukup jernih tentang skenario [itu]. Jika tingkat penularan dan kematian ini terus berlanjut – dalam urutan 12-14 kematian sehari – kita mencapai 5.000 kematian per tahun akibat pandemi. Itu akan menambah 15% tingkat kematian tahunan kita. Ini 15 kali jalan tol. Ini 10 kali lipat kematian akibat influenza,” sambung Baker.
Dihadapkan dengan semakin banyak bukti bahwa orang dapat terinfeksi ulang dengan Omicron dalam beberapa minggu setelah infeksi, pemerintah minggu lalu mengubah kebijakannya untuk mengisolasi seseorang yang dites positif dalam waktu tiga minggu – bukan lagi 90 hari seperti yang direkomendasikan sebelumnya.
Baker mengatakan bahwa data terbaru terkair varian Omicron menunjukkan bahwa seseorang yang telah terinfeksi dapat terinfeksi kembali dalam beberapa minggu. Hal itu memperkecil harapan keluar dari kondisi pandemi meski telah memiliki gabungan kekebalan dari infeksi sebelumnya dan juga kekebalan buatan dari vaksin.
Baker mengutip sebuah studi pre-print, sebuah hasil studi yang dipublikasi untuk selanjutnya dilakukan peer-reviewed, dari Veteran Affairs di Amerika. Hasi dari penelitian itu menemukan bahwa ketika orang terinfeksi ulang, kemungkinan komplikasi jangka panjang atau serius mereka tetap serupa setiap kali dan bukannya berkurang.