Yogyakarta, Gatra.com– Peringatan 100 tahun kehadiran Tamansiswa pada 3 Juli 2022, dinilai menjadi momentum tepat dalam penyegaran sistem pendidikan Indonesia. Memasuki abad kedua, Tamansiswa diminta terus menumbuhkan semangat kepercayaan diri anak Indonesia dan mengajarkan integritas melalui pendidikan.
Dipusatkan di Pendopo Tamansiswa di Kota Yogyakarta, peringatan seabad lembaga pendidikan yang didirikan Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara ini juga digelar di tiga belas provinsi dengan keunikan daerah setempat pada Minggu (3/7) siang.
Melalui sambungan virtual, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendy menyebut Tamansiswa adalah tonggak penting dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia.
Baginya, Tamansiswa adalah kawah Candradimuka yang terus melahirkan tokoh-tokoh penting Indonesia yang terus hadir mengingatkan perjuangan, pemikiran, ketulusan, dan keadiluhungan moral yang diajarkan Ki Hajar Dewantara.
“Momentum 100 tahun pendidikan Tamansiswa hari ini sekaligus menjadi penyegaraan konsep pendidikan Indonesia,” katanya.
Dalam konsep pendidikannya, Tamansiswa tidak hanya melakukan pendekatan ke anak secara pedagogi, namun juga menerapkan andragogi yang berpijak pada konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa siswa merupakan subjek dari proses pendidikan.
Sedangkan guru bertugas sebagai katalisator yang memberikan simulasi dan mengarahkan siswa dalam memecahkan berbagai masalah selama proses belajar mengajar berlangsung.
“Di abad ke-21 sekarang, setiap siswa diwajibkan memiliki empat kompetensi yang dikenal sebagai 4C yaitu berpikir kritis, kreatif dan inovasi, kemampuan bekerjasama, dan kemampuan berkomunikasi yang luas termasuk penguasaan pada teknologi komunikasi dan informasi,” jelas Muhadjir.
Kesemuanya itu kiranya menurut Muhadjir sudah dilakukan Tamansiswa secara menyeluruh pada sistem pendidikan yang dilaksanakan melalui 317 satuan pendidikan dan lima lembaga perguruan tinggi.
Bahkan sejak awal kehadirannya, Tamansiswa telah mengajarkan dan menumbuhkan kepercayaan diri anak didiknya. Persoalan kepercayaan diri ini hingga kini masih menjadi tantangan besar bagi anak-anak Indonesia.
“Kemampuan intelektual, pengetahuan, dan keterampilan anak-anak kita tidak kalah dengan bangsa maju yang lain. Akan tetapi, rasa percaya diri masih kurang, rasa rendah diri yang merupakan sisa peninggalan penjajahan,” paparnya.
Muhajir sangat berharap memasuki abad keduanya, Tamansiswa terus berkesinambungan dalam membangun bidang pendidikan nasional yang akan mampu mengarahkan dan dan menumbuhkan jiwa gotong royong, etos kerja tinggi, dan semangat memberikan yang terbaik.
“Termasuk kokoh berintegritas yang sekarang menjadi persoalan kronis yang belum bisa diurai, belum bisa diselesaikan dalam sistem pendidikan secara khusus dan sistem sosial secara umum,” ucapnya.
Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Ki Sri Eddy Swasono mengatakan sistem pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara merupakan kesesuaian konsepsi 'mencerdaskan kehidupan bangsa' yaitu konsepsi menggelorakan budaya merdeka, menampilkan budaya berdaulat, dan menolak ketergantungan pada penjajah.
"Kehidupan yang cerdas sebagai konsepsi budaya semacam itu, digariskan pula oleh Ki Hadjar, agar pendidikan bagi anak-negeri mampu membentuk sikap budaya ngandel, kandel, kendel dan bandhel," katanya.
Memasuki abad kedua, Tamansiswa tertantang untuk menerapkan sistem pendidikan nasional yang benar arahnya dan membuat bangsa perkasa, mampu mengolah sendiri sumber daya alam sehingga meningkatkan kemampuan dan keberdayaan rakyat.
"Mari melangkahkan kaki kita pada 4 Juli 2022 pagi memasuki 'Abad Kedua' Tamansiswa, dengan 'modal historis', serta “modal budaya adiluhung” sebagaimana dikemukakan dan diteladankan Ki Hadjar, Bung Karno, dan Bung Hatta. Ini akan menjadikan Indonesia sepenuh-penuhnya merdeka dan berdaulat, bersatu, adil dan makmur," paparnya.
Dalam acara tersebut selain diluncurkan dua buku, pengurus Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa memberikan penghargaan ‘Ki Hajar Dewantara Award’ kepada Nyi Hajar Dewantara, Sukarno, dan Mohammad Hatta.