Jakarta, Gatra.com – Tim kuasa hukum mantan Direktur Operasional (Dirop) Ritel PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), Anton Fajar Alogo Siregar, akan menyampaikan surat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin agar segera menetapkan tersangka saksi-saksi yang diduga keras menerima aliran dana kasus dugaan korupsi pengelolan keuangan PT Askrindo Mitra Utama (PT AMU) 2016–2020.
“Agar saksi-saksi yang terlibat menerima dan menikmati [aliran dana], Kejaksan segera mengambil sikap tegas,” kata Zecky Alatas, kuasa hukum terdakwa Aton Siregar di Jakarta, Minggu (3/7).
Zecky menyampaikan, dalam persidangan perkara ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), terungkap jelas bahwa sejumlah pihak menikmati aliran dana terkait pengelolaan keuangan PT AMU.
Kedua saksi yang disebut diduga menikmati aliran dana tersebut, lanjut Zecky, yakni mantan Direktur Teknik PT Askrindo, M. Shaifie Zein dan Direktur Utama (Dirut) PT Askrindo periode 2018-2020, Dwi Agus Sumarsono.
“Kejaksan harus segera mengambil sikap tegas untuk memproses saksi tersebut yang sudah jelas di BAP maupun di fakta persidangan merek menerima uang,” ujarnya.
Zecky mengungkapkan, Shaifie bahkan sudah 2 kali mangkir dari panggilan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari Jakpus). Dia akan dimintai keterangan sebagai saksi di persidangan.
“Mereka diduga menerima uang dan menikmati, tapi kok malah sebaliknya masih bebas berkeliaran di luar?” ujarnya.
Sedangkan berdasarkan fakta persidagan dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan pada Senin lalu (27/6), kata Zecky, mereka menyampaikan bahwa program Kredit Pemilikan Rumah-Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) yang digagas PT AMU telah mendongkrak kenaikan premi.
“Dengan program KPRS FLLP ada kenaikan premi, semula Rp300 miliar menjadi Rp500 miliar,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Zecky, sudah sangat jelas bahwa PT Askrindo dan PT AMU justru diuntungkan dengan adanya program KPRS FLPP. Maka dari itu, sudah selayaknya terdakawa Anton Fadjar Alogo Siregar diberikan apresiasi dan penghargaan.
“Karena memberikan keuntungan yang luar biasa dengan bisa meningkatkan premi Askrindo di dalam situasi ekonomi yang tidak stabil di negara kita ini,” katanya.
Sebelumnya, JPU Kejari Jakpus mendakwa mantan Direktur Pemasaran PT Askrindo Mitra Utama (PT AMU), Wahyu Wisambada, dan Direktur Operasional Ritel PT Askrindo sekaligus Komisaris PT AMU,Anton Fadjar Alogo Siregar, melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan PT AMU Tahun Anggaran 2016–2020.
Adapun inti surat dakwaan JPU Kejari Jakpus sebagaimana dilansirSIPP PN Jakpus bahwa Wahyu Wisambada bersama sama Anton Fadjar Alogo Siregar selaku Direktur Operasional Ritel PT Askrindo periode Oktober 2017–Maret 2021, Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum PT Askrindo periode tahun 2016–2020 Firman Berahima, Dirut PT AMU periode 2012 sampai dengan 2018 I Nyoman Sulendra, Direktur Utama PT AMU periode Juni 2019–April 2021 Frederick CV Tassyam, Dirut PT AMU periode Juni 2018–Desember 2018 Dwikora Harjo, telah merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Atas perbuatan tersebut JPU Kejari Jakpus mendakwa Anton Fadjar Alogo Siregar dan Wahyu Wisambada melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung sebelum Ketut Sumedana, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan, dalam kurun waktu antara tahun 2016–2020, terdapat pengeluaran komisi agen dari PT Askrindo kepada PT AMU yang merupakan anak usaha PT Askrindo secara tidak sah.
Pengeluaran tidak sah tersebut dilakukan dengan cara mengalihkan produksi langsung (direct) PT Askrindo menjadi seolah-olah produksi tidak langsung melalui PT AMU (indirect) yang kemudian sebagian di antaranya dikeluarkan kembali ke oknum di PT Askrindo secara tunai.
“Seolah-olah sebagai beban operasional tanpa didukung dengan bukti pertanggungjawaban atau dilengkapi dengan bukti pertanggungjawaban fiktif,” katanya.
Perbuatan tersebut mengakibatkan terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp604.635.082.035 (Rp604,6 miliar lebih) berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).