Home Nasional C20 Indonesia: 20 Juta Orang Jatuh Miskin karena Pandemi, G20 Harus Bertindak

C20 Indonesia: 20 Juta Orang Jatuh Miskin karena Pandemi, G20 Harus Bertindak

Jakarta, Gatra.com - Civil 20 (C20) Indonesia meminta para pemimpin G20 untuk mendengarkan dan mengambil tindakan nyata soal isu-isu yang secara langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat secara global dalam agenda mereka.

C20 merupakan salah satu Kelompok Keterlibatan resmi G20 yang melibatkan lebih dari 800 perwakilan dan jaringan masyarakat sipil dari berbagai negara di luar anggota G20. C20 berfungsi sebagai platform bagi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) di seluruh dunia untuk menyuarakan aspirasi rakyat kepada para pemimpin G20.

Salah satu latar belakang dari catatan kritis C20 ini adalah dampak ekonomi dan sosial dari pandemi Covid-19. C20 mencatat terdapat 20 juta orang yang terjerembab kepada kemiskinan ekstrem akibat pandemi.

Selain itu, C20 juga mencatat ada 82,4 juta orang yang harus mengungsi secara paksa dan 161 juta orang lainnya menderita kekurangan pangan akut. Bagi C20, isu-isu ini masih belum menyentuh telinga para pemimpin G20.

Ketua C20 Indonesia, Sugeng Bahagijo, menyatakan bahwa kepresidenan G20 Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, kemanusiaan, dan pendidikan melalui pembangunan dan pembiayaan yang memadai dan berkualitas.

“Tidak boleh ada penundaan dalam mengakhiri korupsi, kesetaraan gender, mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), keadilan pajak, serta penyelesaian utang di negara kecil, dan berkembang. Banyak orang di Low & Middle-Income Countries (LMICs) mengandalkan kepemimpinan G20”, kata Sugeng dalam keterangan resminya, Kamis, (30/6/2022).

Secara lebih spesifik, Koordinator Bidang Lingkungan, Keadilan Iklim, dan Transisi Energi C20 Indonesia, Lisa Wijayani, punya perhatian lebih soal soal perubahan iklim. Ia ingin para pemimpin G20 memperhatikan perihal transisi energi yang berkeadilan.

“Indonesia bisa menyuarakan kepada pemerintah bahwa kita bisa kok mengurangi emisi secara signifikan. Efek emisi itu kan buruknya berdampak pada kita-kita juga,” ujar Lisa dalam konferensi pers hari ini di Cikini, Jakarta Pusat.

Tak hanya itu, Lisa menyebut bahwa pihaknya juga sedang memperjuangkan keadilan gender dan penduduk asli (indigenous) suatu wilayah dalam kaitannya dengan ancaman perubahan iklim yang bisa mengganggu eksistensi mereka.

Selain itu, Lisa juga menyebut bahwa pihaknya punya perhatian lebih terhadap perlindungan kelautan dan keanekaragaman hayati laut. Tak lupa juga soal pengolahan sampah dan pengunaan plastik sekali pakai yang ramah lingkungan. Hanya saja, ia mengatakan bahwa isu-isu krusial ini belum dibahas di level G20.

Sementara itu, Koordinator Bidang SDG dan Humaniter C20 Indonesia, Syamsul Ardiansyah, mengungkapkan bahwa kelompoknya berfokus pada tiga isu. Ketiga isu tersebut meliputi pengurangan biaya remitansi hingga 3%, penguatan jaminan sosial bagi kelompok rentan, dan komitmen investasi untuk memperkuat resiliensi melalui pembiayaan humaniter.

Mengenai remitansi, Syamsul menilai bahwa angka remitansi untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri masih tinggi, yakni 8%. “Kami mendorong agar bisa di bawah 3% supaya bisa memberikan impact yang lebih adil bagi keluarga di dalam negeri,” katanya.

Syamsul juga ingin ada jaminan sosial yang tak hanya dialokasikan bagi warga negara biasa, tetapi juga warga negara yang terlantar (displaced) di suatu wilayah atau negara. “Misalnya WNI di Hong Kong masih bisa pakai BPJS. Perlindungan sosial ini bisa memberi jaminan dari dampak perubahan iklim dan bencana,” katanya.

Selain isu-isu di atas, C20 juga punya catatan kritis terkait akses vaksin dan kesehatan global, kesetaraan gender dan disabilitas, perpajakan dan situasi finansial yang berkelanjutan, hingga anti-korupsi. C20 juga punya perhatian lebih terhadap edukasi, digitalisasi, dan ruang sipil.

C20 berpandangan bahwa metode “business as usual” tak lagi efektif untuk mengatasi tantangan peningkatan risiko modern. Keterkaitan antara krisis kesehatan dan ekonomi, konflik sosial dan kerusakan lingkungan serta perubahan iklim menghambat realisasi pembangunan global dan memperparah kesenjangan akses sumber daya dan ketimpangan antar negara dalam menghadapi pemulihan pasca-pandemi.

208