Jakarta, Gatra.com - Model pengawasan intelijen Indonesia yang diadopsi dari UU Intelijen Nomor 17/2011 dinilai belum dapat berjalan secara baik dan memadai untuk mendorong intelijen yang profesional dan demokratis.
Hal itu terlihat dari sejumlah kasus 'kebobolan' intelijen. Sebut saja, dugaan penyadapan rumah dinas Gubernur Jakarta (2014), lemahnya intelijen dalam serangan Bom Thamrin (2016), dugaan penyadapan terhadap telepon genggam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (2017).
Selain itu ada keterlibatan dalam advokasi kebijakan (2019), pelibatan disproporsional dalam penanganan Covid-19 (2020-2021), hingga kasus peretasan website Badan Intelijen Negara (2021).
Koordinator Tim Kajian Keamanan Nasional Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diandra M. Mengko mengatakan, model pengawasan integratif bisa direkomendasikan untuk memperbaharui model pengawasan lama yang dinilai kurang efektif.
Model ini mengusulkan pembenahan sistem pengawasan, penguatan kapasitas institusional dan legal pada aktor pengawas, serta sistem klirens informasi. Sifat kerahasiaan pada intelijen seringkali menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan intelijen.
"Melalui model pengawasan integratif, diharapkan aktor-aktor pengawas dapat berkontribusi dalam mendorong proses reformasi intelijen di Indonesia, baik dari sisi akuntabilitasnya maupun dari sisi profesionalisme intelijen," kata Diandra dalam diskusi daring yang digelar BRIN, Rabu (30/6).
Diandra memaparkan perbedaan model lama dengan model integratif. Untuk model pengawasan melalui UU Nomor 17/2021, sistem pengawasan kerja cenderung terfragmentasi berdasarkan mandat setiap aktor.
Kapasitas institusional dan legal aktor pengawas cenderung belum mendapat dukungan institusional dan legal yang memadai. Selain itu, untuk sistem klirens rahasia intelijen, pengaturan tata kelola rahasia intelijen masih bersifat parsial dan terbatas.
Beda halnya dengan model pengawasan integratif. Sistem pengawasannya untuk menata ulang mandat setiap aktor berdasarkan tinjauan aktivitas pengawasan (identifikasi, deteksi, investigasi, dan evaluasi atau INDIE) agar sistem pengawasan dapat berjalan berkesinambungan.
Kapasitas institusional dan legalnya, dengan menyediakan berbagai kerangka infrastruktur yang diperlukan oleh aktor pengawas untuk melaksanakan mandat pengawasan masing-masing berdasarkan sistem pengawasan INDIE.
"Hal ini mencakup pembentukan atau penguatan unit pendukung, pembenahan regulasi, kode etik, dan mekanisme kerja, mendorong engagement antar-aktor pengawas," kata Diandra.
Untuk sistem klirens rahasia intelijen, model ini menyediakan skema klirens informasi bagi aktor pengawas yang cukup rigid, sehingga dapat menopang masing-masing aktor pengawas dalam menjalankan mandatnya sesuai dengan sistem pengawasan INDIE.
Diandra memastikan model ini disusun dengan sangat detil, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tim bahkan melakukan diskusi dan wawancara dengan Presiden RI 2004-2009 yakni SBY, anggota dan mantan anggota Komisi I DPR, petinggi dan mantan petinggi lembaga negara independen seperti KPK, BPK, Komnas HAM, Ombudsman, petinggi dan mantan petinggi BIN.
Tim juga berdiskusi dengan tokoh-tokoh pada media massa dan organisasi masyarakat di bidang keamanan dan pertahanan.