Secara umum, persoalan rendahnya harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di kabupaten kota di Provinsi Riau dan daerah penghasil sawit lainnya di Indonesia, diawali oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) --- 20% dari total ekspor CPO ---- dan Domestic Price Obligation (DPO) --- harga minyak goreng curah Rp. 14.000,- per kg.
Ini kemudian dilanjutkan dengan dengan hadirnya kebijakan Pemerintah terkait larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya.
Tak lama kemudian, Presiden mengeluarkan kebijakan tentang pencabutan larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya.
Masih belum dibukanya izin ekspor secara luas kepada eksportir CPO, membuat penumpukan CPO pada tangki penimbunan (storage). Alhasil ini berdampak pada pembatasan dan pemberhentian penerimaan TBS pekebun di PKS.
Sudahlah begitu, kebijakan Pungutan Ekspor yang relatif tinggi semakin berdampak pada tertekannya harga TBS pekebun.
Apa kemudian dampak yang terjadi? Harga TBS petani pasca ditetapkannya kebijakan DMO dan DPO berada di kisaran Rp.2.400, sampai Rp2.800,- perkg. Harga ini di tingkat pekebun.
Pasca larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya, harga TBS petadi semakin melandai; berada di antara Rp1.800,- sampai Rp2.200,- perkg.
Yang lebih parah lagi pasca pencabutan larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunnnya. Harga TBS di tingkat pekebun hanya berkisar antara Rp500,- sampai Rp1.100,- perkg.
Kebijakan-kebijakan tadi, juga berdampak pada perusahaan pemilik PKS dan eksportir CPO. Pemutusan kontrak (wan prestasi) perdagangan internasional terjadi. Eksportir tidak bisa memenuhi pasokan sesuai kontrak yang telah disepakati. Kondisi itu berlanjut sampai hari ini.
Pasar CPO Indonesia pun diambil alih Malaysia. Harga CPO yang mereka terima sekitar Rp20.000,- per kg dan berdampak positif bagi harga TBS di Malaysia yang mencapai sekitar Rp5.200,- per kg.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan di Indonesia, harga CPO terjun bebas pada kisaran harga Rp8.000,- perkg dan harga TBS di tingkat pekebun hanya pada kisaran Rp500,- sampai Rp1.100,- perkg.
Stok CPO di tangki penimbunan (storage) mengalami penumpukan dan relatif hampir penuh bahkan sudah banyak yang penuh sehingga sebagian PKS sudah tidak menerima TBS dan tidak mengolah TBS lagi dari pekebun.
Secara umum sebagian besar pekebun tidak melakukan pemanenan TBS karena cost produksi sudah jauh lebih tinggi dibanding penghasilan yang diterima. Sehingga diprediksi kebun-kebun masyarakat akan mengalami kerusakan secara teknis. Ditambah lagi dengan tingginya harga pupuk yang berdampak sebagian besar pekebun tidak dapat melakukan pemupukan kebun.
Usulan Rencana Solusi
Permasalahan yang terjadi saat ini tidak lagi bersifat sektoral terutama di Kemendag saja yang sampai hari ini masih fokus dengan ketersediaan dan harga minyak goreng. Sementara stok minyak goreng di pasaran relatif tersedia meskipun harga sedikit lebih tinggi dari harga yang dipatok pemerintah. Dan secara umum kebutuhan minyak goreng dapat dpenuhi oleh masyarakat.
Permasalahan utama saat ini adalah disektor hulu yaitu permasalahan harga TBS pekebun yang cenderung semakin rendah dan ranah harga TBS berada di Kementan. Sementara TBS merupakan bahan baku untuk menghasilkan CPO yang menjadi bahan baku pula untuk memproduksi minyak goreng.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diharapkan Kemendag dan Kementan melakukan sinkronisasi kebijakan dari hulu ke hilir dikoordinir oleh Kemenko Ekonomi dan pengambil kebijakan lainnya yang terkait.
Oleh karena akar permasalahan adalah rendahnya harga TBS dan penumpukan CPO yang tidak terbendung akibat tidak dibukanya izin ekspor, diharapkan pemerintah menetapkan kebijakan untuk memberikan izin ekspor kepada eksportir CPO dan minyak goreng dan turunannya secara luas dengan tetap memperhatikan ketentuan yang ada.
Diyakini dengan bergeraknya ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya, maka akan berdampak pada pergerakan TBS pekebun sehingga diprediksi harga TBS akan semakin meningkat.
Defris Hatmaja
Mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik Universitas Riau