Jakarta, Gatra.com – Langkah Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Ditipiddeksus) Bareskrim Polri, yang akan menerbitkan surat perintah penyidikan baru setelah sebelumnya dibatalkan pengadilan, dinilai menabrak aturan dan tidak tepat. Apalagi sebelumnya dalam sidang praperadilan PT Titan Infra Energy, dikabulkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Langkah Polri itu dinilai oleh Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Mudzakkir, kurang tepat. Malahan, seharusnya, pihak Bareskrim Polri setelah kalah dari Titan di praperadilan mengeluarkan surat SP3 atau penghentian perkara, bukan malah membuat Sprindik baru.
"Sebelum kesana (mengeluarkan sprindik baru), rangkaian yang harus dilakukan Polri dalam hal ini, harus mengeluarkan SP3 dulu," kata Prof Mudzakkir dalam rilis, Rabu (29/6).
Rangkaian kasus, lanjut Mudzakkir, juga harus disertai bukti baru lagi, yang kemudian Polri harus jelas terlebih dulu mengeluarkan SP3.
"Syaratnya begini, harus ada bukti lagi, kalau langsung itu tidak bisa, kalau tidak ada bukti baru, ya tidak bisa mengeluarkan sprindik baru, harus mengumpulkan bukti-bukti lagi dari awal," jelasnya.
Sebelumnya, PN Jaksel mengeluarkan putusan atas permohonan praperadilan PT Titan Infra Energy terhadap Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal Polri.
Dalam amar putusan yang dibacakan pada Selasa (21/6), hakim tunggal sidang praperadilan Anry Widio Laksono memutuskan menerima praperadilan yang diajukan Titan.
Dalam sidang putusan, Hakim Anry mengabulkan sebagian besar petitum yang dimohonkan pengacara Titan, Haposan Hutagalung, utamanya petitum ke 3 dan 4. Hakim menganggap, dua petitum tersebut sudah menggambarkan seluruh petitum yang diajukan pengacara.
Karena itu, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, penyitaan hingga pemblokiran rekening oleh polisi, merupakan tindakan yang tidak sah.
“Mengacu pada nebis in idem, apa yang dilakukan pihak penyidik dikategorikan sama. Karena itu permohonan pemohon harus diterima,” tegas Hakim Anry.
Anry pun mengingatkan, penyidik harus bersikap profesional dalam melakukan penegakan hukum.
“Penegakan hukum secara tidak bertanggungjawab dengan melanggar aturan hukum yang berlaku, maka akan menodai upaya penegakan hukum itu sendiri,” pungkas Hakim Anry.
Dalam proses sidang praperadilan saksi ahli Profesor Marcus Priyo Gunarto, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menerangkan, tujuan penyidikan adalah menemukan alat bukti, membuat terang perkara, dan menentukan tersangka.
Tentu saja, pengumpulan bukti itu harus dilakukan secara sah sesuai dengan rambu hukum yang berlaku, misalnya polisi harus menemukan dua alat bukti. Bila unsur-unsur delik pidana itu tidak ditemukan, maka penyidikan harus dihentikan dengan menerbitkan SP3.
Dalam kasus Titan, di mana polisi telah menerbitkan SP 3 untuk kasus pidana dengan tempus dan locus delicti yang sama, seharusnya perkara ini tidak bisa diusut lagi.
“Dalam konteks ini, bila perkaranya sama, orangnya, locus dan tempus-nya sama, maka pengertiannya adalah perkara yang sama. Karena itu, kasus ini tidak bisa disidik kembali,” jelas Ketua Departemen Pidana FH UGM ini.
Kalau kemudian polisi membuka kembali, sesuai Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, maka polisi harus memohonkan praperadilan. Hakimlah yang akan memutuskan apakah perkara tersebut layak dibuka kembali.