Jakarta, Gatra.com - Sikap Mbah Paini tak pernah berubah. Ia bersikukuh untuk tidak menjual tanahnya. Aset berharganya itu bakal tergusur dengan pembangunan pabrik semen, yang dibangun di daerah Simbarwareh, Desa Timbrangan, Desa Tambakromo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Kabar rencana pembangunan pabrik semen di kawasan itu sudah dimulai sejak 2014 silam. Pada 2019, Komisi Nasional Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) membukukan pengalaman perempuan-perempuan, termasuk Mbah Paini, yang melawan kehadiran pabrik semen.
Cerita Mbah Paini dan 21 perempuan lainnya didapatkan dari Focus Group Discussion (FGD) yang digelar pada 6 September 2016 lalu. Dalam FGD itu, mereka mengisahkan pengalaman berhadapan dengan pihak pabrik semen.
Peta tapak pabrik semen sudah dibuat, yang tentu saja di dalamnya ada tanah milik warga lengkap dengan sertifikatnya. Pembuatan tapak itu tanpa meengantongi izin dari pemiliknya.
Sampai buku pemantauan itu dibuat, Komnas Perempuan meyakini bahwa ada pelanggaran dalam proses konsultasi. Pihak perusahaan semen maupun jajaran Bupati menganggap sosialisasi telah dilakukan.
"Namun menurut pandangan ibu-ibu, mereka tidak pernah dilibatkan dalam satu pertemuan yang membahas tentang pabrik semen, bagaimana semen itu, mengapa perlu didirikan pabrik," kata tim penulis dalam buku Laporan Pemantauan Isu HAM Perempuan dalam Konflik Pertambangan, Rencana/Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah.
Mereka yang menolak pembangunan pabrik semen ini mendapat reaksi dari pemerintah daerah, kroni pabrik semen, juga warga yang mendukung pembangunan pabrik itu. Pengakuan peserta FGD, Giati, rumahnya bahkan pernah dilempar suatu benda hingga pecah kacanya oleh orang tak dikenal. Beda hal lagi dengan Giyem, yang pernah diancam akan dibunuh.
Ganjar Pranowo sendiri sebagai Gubernur Jawa Tengah dinilai oleh warga tidak memiliki keberpihakan, bahkan mereka ditanya, “apa kalian sudah baca AMDAL?”
Komnas Perempuan menyebut pengalaman perempuan bagi Ganjar tidak dianggap pengetahuan. Begitu pula pemahaman alam Pegunungan Kendeng, hanya disempitkan oleh otoritas Pemda melalui AMDAL. Di Kabupaten Grobogan juga belum ada proses konsultasi yang baik antara pihak semen dan masyarakat.
Padahal, warga yang menolak pembangunan semen mengupayakan berdialog dengan pemerintah, termasuk DPRD Kabupaten, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Perindustrian. Otoritas menyatakan izin semen tidak dikeluarkan karena tidak layak menurut AMDAL 2016. Ini tentu membuat warga bingung dan mempertanyakan izin AMDAL yang mana yang akan dipakai.
"Minimnya partisipasi masyarakat tampak secara umum, padahal perempuan terkait langsung dengan permasalahan air, pengelolaan lingkungan dan ekonomi keluarga ketika pabrik semen berdiri," tulis tim penulis.
Tak hanya Pati, pemantauan juga dilakukan oleh Komnas Perempuan di Kendal, Jawa Tengah, wilayah yang akan dijadikan hutan sebagai bentuk tukar guling hutan kars untuk dibangun pabrik semen di atasnya. Dalam buku itu dijelaskan bahwa daerah tersebut merupakan area tanah kritis yang dimanfaatkan petani setempat untuk bercocok tanam.
Parahnya, tukar guling ini dilakukan tanpa diketahui oleh masyarakat sehingga membuat tiga petani dikriminalisasi setelah tersandung kasus lahan. Komnas Perempuan menulis, kriminalisasi tersebut berdampak kepada istri dan anak-anak mereka.
"Istri harus menanggung beban ekonomi karena suami mereka tidak lagi beraktivitas ekonomi. Stigma dan diskriminasi juga mereka dapatkan," tulis Komnas Perempuan.
Dalam FGD bersama perempuan Kendal, diceritakan kondisi memprihatinkan yang dirasakan ibu-ibu di Desa Surokonto Wetan. Mereka hanya menggarap lahan yang kecil dan tidak memiliki ternak, baik sapi atau kambing. Mayoritas atau 90% masyarakat adalah petani yang bekerja di tanah kritis milik PT Sumur Pitu. Beberapa ibu bahkan mencoba peruntungan menjadi TKI, tetapi setelahnya memutuskan pulang karena anak-anaknya tidak terurus.
"Pendapatan dari pertanian sangat tidak mencukupi. Panen jagung, misalnya, sekitar empat bulan mereka hanya menerima Rp750 ribu. Belum dipotong utang bibit tanaman dan pupuk, tinggal Rp200 ribu," tulis Komnas Perempuan.
Dua kasus di Pati dan Kendal itu mencerminkan bahwa perempuan menjadi pihak yang rentan dalam proses pembangunan. Bahkan Komnas Perempuan masih mencatat adanya penyiksaan perempuan di tahanan atau saat penangkapan dalam konflik sumber daya alam, agraria, atau infrastruktur.
"Kami menerima laporan perempuan berhadapan dengan hukum. Kadang belum bisa terima hak karena persoalan struktural, termasuk penyikapan aparat yang dirasakan pernyataannya justru melecehkan, merendahkan. Kalau pakai dokumen Konvensi (Anti-penyiksaan) ini enggak boleh dilakukan atau dalam pedoman HAM secara umum," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam webinar Peringatan Hari Anti-Penyiksaan Internasional, Jumat (24/6) lalu.
Penindasan dan ketimpangan perempuan semakin parah terjadi akibat negara dan korporasi terus menggunakan cara-cara kekerasan dan pendekatan militeristik, yang disebut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) merupakan cara-cara partiarki.
Walhi menyebut, sistem pembangunan berorientasi pada eksploitasi berdampak juga pada tiga hal, yakni kehancuran ekologis, perampasan pada ruang hidup, serta hak rakyat. Walhi menilai, kebijakan dan proyek-proyek yang diprioritaskan oleh negara justru tidak berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan hak rakyat.
"Pendekatan militeristik yang terus dipertontonkan penyelenggara negara dalam ‘mengamankan’ investasi secara nyata memperparah konflik dan bencana ekologis yang terjadi, semakin memperlebar kesenjangan dan ketidakadilan gender. Padahal konstitusi Indonesia telah menjamin hak rakyat atas lingkungan yang sehat dan bersih," kata Walhi dalam keterangan tertulisnya pada peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2022 lalu.
Walhi melihat, tingginya pengrusakan lingkungan yang memperparah situasi perempuan, telah mendorong perempuan-perempuan bergerak melawan penghancuran lingkungan. Ini yang dilakukan Mbah Paini dan perempuan-perempuan lainnya dalam mempertahankan tanahnya.
Untuk itu, Walhi menilai penting untuk memastikan pelibatan penuh perempuan di dalam setiap tahapan proses penyusunan kebijakan maupun rencana proyek-proyek yang memengaruhi lingkungan hidup dan hak-hak perempuan atas lingkungan yang sehat. Pemerintah, utamanya aparat, juga harus menghentikan tindakan represif dalam proyek pembangunan.
"(Walhi menuntut pemerintah) menghentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan," tulis Walhi.