Pati, Gatra.com – Kabupaten Pati, Jawa Tengah, memiliki segudang peninggalan sejarah. Satu dari sekian adalah Pintu Gerbang Majapahit yang berada di Dukuh Rendole, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo.
Pintu yang terbuat dari kayu itu terawat apik dengan dikelilingi kaca di tanah milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng, dengan nama Gapura Majapahit SHP No 34/Muktiharjo. Gapura Majapahit ini juga telah dilindungi UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Di salah satu papan yang terpasang di area benda cagar budaya ini, tertuliskan cerita tutur asal-asal Gerbang Majapahit di lokasi tersebut.
Di mana Raden Bambang Kebo Nyabrang yang merupakan anak Sunan Muria yang tidak diakui karena sejak kecil diasuh oleh kakeknya. Sebagai syarat agar diakui anak oleh Sunan Muria, maka Sunan Muria menyuruh Kebo Nyabrang membawa Pintu Gerbang Majapahit dari Mojokerto menuju Gunung Muria dalam satu malam.
Di lain tempat di Padepokan Sunan Ngerang, salah satu muridnya yang bernama Raden Ronggo ingin menyunting putri Sunan Ngerang yang bernama Roro Pujiwat yang meminta syarat Pintu Gerbang Majapahit diboyong ke Padepokan.
Raden Ronggo kecewa karena Pintu Gerbang Mojopahit telah dibawa Kebo Nyabrang menuju Gunung Muria. Raden Ronggo mengejar dan meminta pintu itu, tetapi tidak diberikan oleh Kebo Nyabrang. Timbulah peperangan.
Sunan Muria yang melihat dua orang itu bertarung, pun menghampiri. “Wis pada lerena sak kloron pada bandhole,” kata Sunan Muria. Maka berhentilah kedua orang tersebut.
Tempat itu pun menjadi Dukuh Rendole, seperti yang menjadi tutur sang Sunan. Sunan Muria seketika mengakui Kebo Nyabrang sebagai anaknya dan meminta untuk menjaga Pintu Gerbang Majapahit di lokasi tersebut.
Hanya saja, ketika Gatra.com hendak bertanya kepada juru kunci yang tak lain adalah pegawai BPCB Jateng, ihwal cerita yang terpajang tersebut, pihak bersangkutan sudah pulang ke Kabupaten Kudus.
Akhirnya bertolak ke kediaman Ragil Haryo seorang Pegiat Sejarah di Pati. Beragam versi yang sangat menarik, soal asal-usul dan fungsi Pintu Gerbang Majapahit pun banyak dikuak oleh pria berkacama ini.
*Majapahit Runtuh 6 Abad Silam
Fakta sejarah (kesimpulan dari analisis sejarawan) pertama, runtuhnya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1400. Sementara Pintu Majapahit di Rendole terbuat dari kayu yang terukir langgam Lasem.
“Kalau kita runtut hingga sekarang itu sekitar 6 abad setelah kehancuran Majapahit. Pertanyaannya apakah kayu kuat, bertahan selama itu. Ukiran langgam kayu ini lebih dekat ke Lasem. Kemungkinan ada orang dari Lasem saat itu yang membuat proyek pintu itu di Pati,” kata pria yang juga Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pati, Jumat (24/6).
*Tak Layak Disebut Gerbang
Salah satu sejarawan pernah mengukur, pintu gerbang panjang Candi Brajang Ratu di Trowulan dengan Gerbang Pintu Majapahit di Rendole tidak sama ukurannya.
“Dari pandangan kritis secara logis itu tidak masuk akal kalau itu disebut sebagai Pintu Gerbang Majapahit. Itu banyak yang menyangsikan. Seumpama itu benar, itu bukan gerbangnya tetapi regol istilahnya,” tuturnya.
*Dilindungi Pemerintah Kolonial
Fakta ketiga, Pemerintah Kolonial saat itu telah menjaga peninggalan ini, berdasarkan dokumen foto tahun 1935. Pintu tersebut diberi keterangan Pintu Kebo Anyabrang.
“Dari dulu, ingatan kolektifnya pintu itu disebut Pintu Gerbang Majapahit. Area ini sudah coba dilindungi orang-orang Belanda yang ada di Pati saat itu,” jelas Ragil.
*Alat Tukar Guling
Ada juga yang menyebut, lanjut Ragil, jika pintu ini digunakan sebagai alat untuk tukar guling. Lantaran ukurannya tidak pas ketika hendak di taruh di Rumah Dinas Residen Pati, maka hanya digeletakkan di Rendole.
“Ini mau ditukar untuk tanah pembuatan Pabrik Gula (PG). Ketika mau dipasang ternyata ukurannya tidak pas, sehingga ditaruh direndole. Hanya saja untuk kebenarannya, saya belum menemukan bukti yang menguatkan hal ini. Belum ada dokumen pendukung,” ungkapnya.
*Disebut Pintu Kaputren
Analisis lain, pintu ini hendak ditaruh di Kaputren yakni tempat putri dan istri Adipati Pati Mangun Oneng yang bertahta di Kadipaten Pati tepatnya di Rendole pada sekitaran tahun 1800-1700.
“Toponimi (Disiplin ilmu yang mempelajari penamaan wilayah)-nya juga sangat mendukung, adanya desa yang banyak nama Mukti yang berarti terhormat,” imbuh Ragil.
*Cerita Tutur Perebutan Gerbang Majapahit
Sementara untuk cerita perebutan Pintu Gerbang Majapahit oleh Raden Bambang Kebo Nyabrang dengan Raden Ronggo, yang terpajang di papan area cagar budaya, disebutnya mungkin bagian dari folklore.
“Tradisi lisan itu adalah aset budaya yang berada di Pati. Mungkin itu cara orang terdahulu untuk menutupi fakta sebenarnya melalui folklore. Maksud saya ingin menyampaikan sesuatu tetapi dibalut sedemikian rupa, agar tidak ketahuan penguasa saat itu,” terangnya.
*Pembatas Pengaruh Budaya di Pegunungan Muria
Pegunungan Muria, oleh satu kenalan Ragil, disebut sebagai garis pengaruh hegemoni. Di mana Muria diibaratkan garis tidak terlihat. Yakni pembatas antara wilayah Muria bagian utara yang keislamannya kuat, seperti Kudus dan Demak. Sementara bagian timur, semisal Pati pengaruh Majapahit masih sangat mengakar.
“Di Pati ini kan Islamnya abangan. Pengaruh budaya Majapahit masih kuat, seperti Batik Bakaran misalnya. Desa-desa yang memakai nama Mojo juga banyak,” terangnya.
Ditambahkan, pegunungan Muria ini seperti garis imajiner. “Mungkin ini alasan kenapa ditaruh Pintu Gerbang Majapahit, mungkin ini untuk menandai hegemoni wilayah yang memiliki pengaruh Majapahit yang kuat,” pungkas Ragil.