Jakarta, Gatra.com – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan sepuluh ancaman kesehatan global. Hal itu meliputi polusi udara dan perubahan iklim, penyakit tidak menular, pandemi influenza global, dan krisis di wilayah rentan.
Ancaman lainnya berupa resistensi antimikroba (AMR), ebola dan patogen berbahaya lain, serta layanan kesehatan primer yang lemah. Selain itu, ada pula penolakan terhadap vaksin, demam berdarah, dan human immunodeficiency virus (HIV).
“Yang pertama disebutkan adalah polusi udara dan perubahan iklim. WHO menyatakan 9 dari 10 orang menghirup udara tercemar,” jelas Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Pandji Wibawa Dhewantara, dalam webinar pada Rabu (22/6).
Dia menambahkan, polutan mikroskopis di udara mengakibatkan tujuh juta orang meninggal karena kanker, stroke, penyakit jantung, dan paru-paru. WHO memperkirakan tambahan sekitar 250.000 kematian per tahun pada periode 2030 hingga 2050.
Pada 2022, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah mensimulasikan beberapa skenario emisi gas rumah kaca (GRK). Hal itu diindikasikan dengan representative concentration pathway (RCP), mulai RCP2.6, RCP4.5, RCP6, hingga RCP 8.5.
Skenario terburuk menunjukkan peningkatan suhu sekitar 4°C (2.4°C hingga 6.4°C) pada tahun 2100. Kondisi itu akan memengaruhi biologi vektor dan patogen yang menentukan sebaran, kelimpahan, serta penularan penyakit.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan (skenario RCP8.5) rata-rata suhu udara di Indonesia meningkat 0,8°C hingga 1°C pada 2020-2050 dibandingkan tahun 1961-1990.
Pandji mengatakan, perubahan iklim mengakibatkan kenaikan suhu, permukaan air laut, level karbon dioksida, hingga cuaca ekstrem. Perubahan iklim juga dapat memengaruhi ekologi vektor seperti malaria, chikungunya, dengue, encephalitis, hantavirus, dan lain-lain.
Menurut Pandji, peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dapat menaikkan suhu global. Hal itu bisa menyebabkan sejumlah bencana hidrometeorologi, seperti curah hujan ekstrem, banjir, kekeringan, dan sebagainya.
“Selain itu, perubahan iklim dan faktor-faktor lingkungan lain akan berpengaruh terkait permukiman, tingkat urbanisasi, serta pembukaan lahan. Kondisi ini bisa meningkatkan kontak antara manusia dengan virus yang dibawa vektor,” imbuhnya.