Jakarta, Gatra.com – Communique Pertemuan Kedua Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (2nd EDM-CSWG) negara-negara anggota G20 di Jakarta menghasilkan dokumen pre-zero draft.
“Pertemuan menghasilkan satu dokumen yang disebut pre-zero draft,” kata Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam keterangan pers, Kamis (23/6).
Menurutnya, pre-zero draft merupakan dokumen awal yang akan dibahas terus menerus sampai dengan nanti bulan Agustus menghasilkan suatu dokumen yang disebut Ministerial Communique of Environment and Climate and Sustainability.
Adapun pertemuan kedua di Jakarta yang baru berakhir tersebut merupakan perantara pertemuan pertama di Yogyakarta dan pertemuan terakhir di Bali akhir Agustus nanti yang akan membahas Ministerial Communique.
Untuk dapat menghasilkan Ministerial Communique tersebut pada Agustus nanti, sebanyak 19 sesi workshop yang membahas tentang lingkungan hidup dan perubahan iklim telah dilaksanakan.
Laksmi menjelaskan, pre-zero draft communique akan ditindaklajuti dengan beberapa pertemuan sampai dengan pertemuan tingkat menteri di Bali. Namun, saat ini pihaknya belum bisa membagikan Communique-nya karena masih dalam proses.
“Kita baru punya pre zero draft. Kita akan punya serangkaian diskusi-diskusi, pertemuan negosiasi untuk Communique tersebut, sampai nanti menjelang pertemuan ketiga di akhir Agustus di Bali,” ujar Laksmi.
Communique akan memuat elemen-elemen atau paragraf-paragraf yang mencerminkan komitmen. Laksmi memberikan contoh, misalnya, nanti G20 berkomitmen untuk terus meningkatkan upaya-upaya untuk pengendalian perubahan iklim untuk atau agar bisa berkontribusi dalam menjamin kenaikan rata-rata suhu permukaan global tidak naik atau tidak lebih dari 1,5 C.
Kemudian, lanjut Laksmi, terdapat juga komitmen mendorong negara-negara maju untuk bisa memenuhi rencana pledge atau janjinya untuk memberikan pendanaan bagi negara-negara berkembang.
“Communique ini merefleksikan hal-hal yang dibahas dalam pertemuan dan hal-hal yang ingin disampaikan oleh negara G20 di dalam EDM-CSWG ini sebagai komitmen, seruan, dan sebagai suatu rencana ke depannya,” kata Laksmi.
Ia mengutarakan, dengan menjadi Presidensi G20, Indonesia mempunyai kesempatan untuk menetapkan agenda besar G20. Terdapat tia agenda utama, yaitu pertama, kontribusi kepada global health architecture, terutama karena Indonesia menjadi Presidensi G20 di masa pandemi Covid-19. Kedua, digital transformation untuk mendukung economic growth; dan ketiga, energy transition.
“Dengan ditetapkannya 3 tema ini yang kemudian diturunkan dalam masing-masing Working Group, maka Indonesia memiliki kesempatan untuk mengedepankan dan menyuarakan agenda-agenda Indonesia untuk kemudian dilakukan atau diterima sebagai agenda negara-negara G20,” katanya.
Inisiatif yang dilakukan Indonesia selama ini di tingkat nasional, lanjut Laksmi, akan diperkenalkan dan ditiru, serta bekerja sama dengan berbagai negara, tidak hanya G20 tapi juga negara-negara mitra.
“Ini adalah kesempatan baik Indonesia untuk menunjukkan bahwa kita memimpin dalam beberapa agenda terkait dengan perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan,” ujarnya.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK, Sigit Reliantoro, menyampaikan bahwa pada bagian EDM, pertemuan kedua ini telah membahas mengenai Land Degradation, Halting Biodiversity Loss, Integrated and Sustainable Water Management, Resource Efficiency and Circular Economy, Marine Litter, Ocean Conservation, dan Sustainable Finance.
Sedangkan pada bagian CSWG terdapat tiga isu, yaitu pertama.n bagaimana peran co-benefit antara aksi mitigasi dan aksi adaptasi untuk bisa menyiapkan suatu kondisi atau komunitas yang punya ketahanan iklim. Kedua, bagaimana memperkuat aksi dan kerja sama kemitraan khusus untuk inisiatif pengelolaan laut yang berkelanjutan.
Ketiga, bagaimana mendorong dan mempercepat implementasi dari NDC dengan pendekatan atau transisi yang berkelanjutan dari kondisi sekarang menjadi kondisi yang rendah karbon dan berketahanan iklim.
“Melihat jalannya konferensi tadi, kita mendapatkan apresiasi mengenai isu-isu dan bagaimana kita bisa menggabungkan concern dari negara-negara G20 ini,” katanya.
Mengenai land degradation, ujar Sigit, sebenarnya tidak terlalu banyak catatan yang bertentangan, ada beberapa isu berkaitan dengan kesamaan target dan target yang lebih ambisius. Keduanya perlu disinkronkan dengan kebutuhan negara maju dan kebutuhan negara berkembang.
Sigit melanjutkan, dari EDM terdapat agenda dari kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai pemulihan gambut dan pemulihan mangrove yang didorong untuk menjadi agenda G20.
“Kita akan mendorong apa yang sudah dimiliki oleh Indonesia, kita memiliki regulasi dan technical expertise dan bukti-bukti kerja di lapangan yang dapat kita bagi, terutama ke negara yang memiliki ekosistem gambut tropis. Namun, ide ini disambut juga oleh negara yang memiliki gambut dengan iklim sedang,” katanya.
Menurut Sigit, pemulihan gambut dan mangrove tersebut merupakan isu yang sangat penting, meskipun hanya 3% dari permukaan bumi, namun peatland dan mangrove atau wetland memiliki fungsi yang luar biasa karena dapat menyerap CO2 empat kali lipat lebih besar daripada hutan tropis biasa.
“Kawasan gambut juga berfungsi sebagai pengatur air dan mangrove berfungsi untuk pengurangan bencana, seperti tsunami dan sebagainya. Itu penting bukan hanya saja bagi Indonesia namun juga bagi dunia,” ujar Sigit.