Jakarta, Gatra.com – Presidensi G20 Indonesia perlu dimanfaatkan untuk menghasilkan aksi strategis mitigasi perubahan iklim. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai pemerintah memiliki peran kunci untuk menghentikan kegiatan alih fungsi lahan agar tak terjadi deforestasi.
Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional WALHI, Uslaini Chaus, menyatakan, deforestasi bisa menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
“Kami menuntut pemerintah agar tidak lagi mengeluarkan izin baru di kawasan hutan. Izin baru ini bisa mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, atau hutan tanaman industri (HTI),” kata Chaus dalam keterangannya, Rabu (22/6).
WALHI juga mempertanyakan pengalihan fungsi lahan menjadi food estate. Menurutnya, membangun ketahanan pangan tak bisa dengan cara mengorbankan kawasan hutan, melainkan dengan intensifikasi lahan pertanian yang ada.
Chaus mengatakan, kawasan hutan merupakan sumber penghidupan bagi banyak masyarakat lokal dan adat. Selain itu, juga ekosistem satwa dan fauna. WALHI mendukung pembuatan kebijakan untuk mencapai nol deforestasi.
WALHI turut mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan yang memperoleh keuntungan dari pembukaan lahan tersebut. Perusahaan wajib mencari area pengganti kawasan hutan yang mereka ekspolitasi. Misalnya, perusahaan pertambangan wajib melakukan reklamasi pasca penambangan.
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, M. Teguh Surya, menyatakan perusahaan memiliki peran penting dalam upaya menuju nol deforestasi, yaitu dengan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan penghormatan HAM dalam kegiatan operasionalnya.
“Kegiatan perusahaan perlu diregulasi agar bisa mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan. Pasar global sudah berubah, di mana konsumen global punya kesadaran lebih besar dalam memilih produk yang mengedepankan prinsip berkelanjutan,” imbuhnya.
Bahkan, kata Teguh, produsen pun akhirnya didorong untuk mengakomodasi kebutuhan pasar tersebut dengan mengganti sumber bahan mentah dari rantai pasok yang mengadopsi prinsip berkelanjutan.
Penelitian terbaru dari Accountability Framework initiative (AFi) dan CDP memperkirakan perusahaan dapat merugi hingga US$80 miliar jika tidak mengatasi risiko deforestasi pada rantai pasoknya.
Teguh menambahkan, persaingan di pasar global memang sangat ketat. Sehingga, bisnis tidak punya pilihan selain bertransformasi agar bisa menyesuaikan dengan kondisi pasar.
“Seharusnya pemerintah bisa membuktikan kontribusinya dalam prinsip berkelanjutan dengan mendorong implementasi nyata menuju nol deforestasi, terutama di tengah Presidensi G20 Indonesia,” tegasnya.
Mengenai sorotan dunia kepada Indonesia sebagai Presidensi G20, Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sepakat agar Indonesia dapat memanfaatkan momentum tersebut dengan baik.
“Dengan posisi sebagai Presidensi G20, saya berharap Indonesia bisa mendorong pergerakan bilateral untuk nol deforestasi, pemanfaatan energi berkelanjutan, dan hal-hal lain yang menjadi permasalahan global,” katanya.
Pria yang juga menjabat sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair tersebut ingin mendorong pemanfataan sumber energi terbarukan. Hal itu meliputi surya, angin, arus laut, hidro, panas bumi, bioenergi, dan sebagainya.
“Saya bermimpi suatu saat nanti perusahaan di Indonesia akan bertransformasi. Misalnya, Pertamina berubah fungsi menjadi perusahaan energi yang terbarukan. Menurut saya, sudah saatnya perusahaan mengubah model bisnisnya agar jadi lebih berkelanjutan,” tuturnya.