Jakarta, Gatra.com – Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, soal kasus dugaan korupsi Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan Turunannya pada bulan Januari 2021sampai dengan Maret 2022 pada Rabu (22/6).
Muhammad Lutfi, saat ini tengah menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung. Mantan orang nomor satu di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tersebut diperiksa sebagai saksi.
Lutfi setibanya di Gedung Bundar tidak banyak menyampaikan keterangan kepada wartawan. Dia hanya menyampaikan, akan memberikan pernyataan setelah menjalani pemeriksan.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 5 orang tersangka, yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemdag), Indrasari Wisnu Wardhana (IWW); Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor (MPT); Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG), Stanley M (SM); General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, Togar Sitanggang (TS), dan penasihat kebijakan/analisa pada Independent Researach & Advisory Indonesia yang diperbantukan di Kemendag, Lin Che Wei (LCW) alias WH.
Sebelumnya, Tim Penyidik Pidsus sempat melimpahkan ke tahap I berkas perkara kelima tersangka tersebut kepada jaksa peneliti. Tim jaksa peneliti langsung meneliti berkas kelima tersangka tersebut sebagaimana Pasal 110 Ayat (1) KUHAP.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, menyampaikan, Tim Jaksa Peneliti meneliti berkas tersebut setelah menerima pelimpahanan dari Tim Penyidik Pidsus.
“Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah menyerahkan 5 berkas perkara atas nama 5 orang tersangka,” katanya.
Ketut menjelaskan, Tim Jaksa Peneliti memiliki waktu 7 hari untuk menentukan apakah berkas perkara dapat dinyatakan lengkap (P21) atau belum secara formil maupun materiil (P.18) dan 7 hari untuk memberikan petunjuk (P.19) apabila berkas perkara belum lengkap.
Tim Jaksa Penyidik masih terus melakukan pendalaman dan pengecekan DMO minyak goreng 20% di seluruh wilayah Indonesia. “Fakta riil di lapangan bahwa DMO (Domestic Market Obligation) minyak goreng 20% sebagai syarat penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE) tidak ada,” katanya.
Tim Jaksa Penyidik Kejagung telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Republik Indonesia dan ahli ekonomi dari akademisi, serta permintaan keterangan ahli untuk penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian Negara.
Para tersangka melakukan perbuatan melawan hukum berupa bekerja sama secara melawan hukum dalam penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE) dan dengan kerja sama secara melawan hukum tersebut.
Akhirnya, diterbitkan Persetujuan Ekspor (PE) yang tidak memenuhi syarat, yaitu mendistribusikan CPO atau RBD Palm Olein tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri (DPO) dan tidak mendistribusikan CPO dan RBD Palm Olein ke dalam negeri sebagaimana kewajiban yang ada dalam DMO sebesar 20% dari total ekspor.
Perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara, yaitu kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat.
Kejagung menyangka mereka melanggar sangkaan Primair, yakniPasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Subsidiair Pasal 3 juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.