Jakarta, Gatra.com - Lelaki 49 tahun ini makin tak habis pikir menengok cara-cara Kementerian terkait menangani persoalan anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) yang sampai-sampai membikin petani sawit dari Aceh sampai Papua "sesak nafas".
Boro-boro harga TBS naik menjadi lebih dari Rp3000 per kilogram seperti yang diomongkan Menteri Perdagangan sebelumnya. Yang ada justru, Flush Out (FO) yang muncul.
Celakanya, penafsiran stakeholder sawit --- khususnya eksportir --- soal FO berbanderol USD200 per ton ini berbeda. Versi pemerintah, FO itu adalah alternatif yang bisa dipakai oleh eksportir yang keberatan memenuhi Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Artinya, kalau eksportir tak mau memenuhi DMO dan DPO, boleh menggantinya dengan membayar FO sebesar USD200 per ton.
Itulah makanya kata Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) ini, pemerintah membikin dua opsi; BK+PE+DMO+DPO atau BK+PE+FO.
Tapi di kalangan pengusaha sawit dan eksportir kata Gulat Medali Emas Manurung, FO itu malah diartikan sebagai kewajiban baru yang posisinya sama kayak Pungutan Ekspor (PE), Bea Keluar (BK), DMO dan DPO. "Eksportir membikin skemanya; BK+PE+DMO+DPO+FO,” terang Gulat kepada Gatra.com, jelang sore tadi.
Lantaran diartikan seperti itu kata ayah dua anak ini, mau tak mau Crude Palm Oil (CPO) semakin bengek menanggung beban. "Tujuannya mengartikan seperti itu apa? Siapa yang diuntungkan? Yang jelas, yang untung itu bukan petani dan bukan pula pemerintah. Ini harus dipertegas oleh Kementerian terkait," pinta Gulat.
Gulat kemudian membikin simulasi pakai skema eksportir tadi. Katakanlah harga CPO hari ini di Cif Rotterdam USD1500 per ton. Harga ini sama dengan Rp22.200 per kilogram. "Jika tanpa PE+BK+DMO+PO+FO, maka harga TBS petani adalah Rp4.700 per kilogram," terangnya.
Lalu kalau hanya PE (USD288 per ton) dan BK (USD200 per ton) yang dibayarkan eksportir, maka harga TBS petani kata Gulat bisalah di harga Rp3.190 per kilogram. "Ini persis seperti harapan Pak Luhut Panjaitan, harga TBS di atas Rp3000 per kilogram," katanya.
Tapi kalau PE+BK+DMO+PO+FO dibayarkan semua oleh eksportir, maka harga CPO yang tersisa cuma USD732. Ini setara dengan Rp12 ribu harga CPO per kilogram.
"Kalau segitu harga CPO, maka harga TBS petani di penetapan harga Disbun hanya di kisaran Rp2.550. Mari kita kurangi Rp4.700-Rp2.550=Rp2.150. Jika harga TBS Rp2.550, jelaslah sebenarnya siapa yang menanggung semua tetek-bengek beban itu; petani sawit," semakin jauh Gulat mengurai.
Tapi tunggu dulu. Yang Rp2.550 itu kata Gulat masih harga di kertasnya Dinas Perkebunan (Disbun) provinsi. Sebab kenyataan di lapangan --- di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) --- saat ini harga yang ada justru cuma di kisaran Rp1.600-Rp2.100.
Kalau ditambah lagi beban tadi dengan Harga Pokok Produksi (HPP) petani yang mencapai Rp1950-Rp2250 per kilogram, "Benar-benar runyamlah kami petani kecil ini dan sesungguhnya kerunyaman itu sudah dua bulan lebih kami rasakan," bergetar suara doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini mengatakan itu.
Bagi petani kecil yang luas kebunnya mencapai 42 persen dari total 16,38 juta hektar luas kebun kelapa sawit di Indonesia kata auditor ISPO ini, angka beban tadi teramat besar.
"Enggak adil rasanya, itulah makanya petani memilih membakar TBS nya. Sebab maksud pemerintah menjadikan beban tadi beban bersama; dari pelaku hulu sampai ke hilir. Eh, yang bengek justru cuma petani kecil kayak kami," katanya.
Gulat kemudian bersaran, jika usulan Pak Luhut Panjaitan harga TBS musti di atas Rp3000 per kilogram, maka sementara, sebaiknya hanya PE (USD200 per ton) dan BK (USD150 per ton) saja dulu yang diberlakukan. "Nanti kalau ekspor sudah lancar, dievaluasi lagi," Gulat bersaran.
Abdul Aziz