Palembang, Gatra - Mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Alex Noerdin, yang tersangkut tindak pidana korupsi dana Masjid Sriwijaya dan pembelian gas bumi oleh BUMD PDPDE Sumsel 2010-2019 divonis 12 tahun penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN Kelas 1 Palembang, diketuai Yoeserizal SH MH membacakan amar putusan dimuka persidangan yang digelar Virtual pada PN Klas 1 A Khusus Tipikor Palembang, Rabu (15/06). Oleh majelis hakim terdakwa Alex Noerdin, dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perunbahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
"Mengadili dan menjatukan terdakwa Alex Noerdin, dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan," tegas Ketua Majelis Hakim di persidangan, Rabu (15/6). Pada persidangan dengan agenda putusan majelis hakim, Alex Noerdin mengikuti secara virtual.
Putusan majelis hakim terhadap mantan Gubernur Sumsel, dan anggota DPR RI tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung), yakni hukuman pidana selama 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan.
Oleh JPU, Alex Noerdin, juga diminta uang pengganti diperkara PDPDE Sumsel sebesar 3,2 juta dolar Amerika Serikat, dan di perkara Masjid Sriwijaya uang pengganti sebesar Rp4,8 miliar dengan ketentuan jika selama 1 bulan usai vonis incrah tidak dibayar maka asetnya akan disita dan jika harta benda terdakwa yang disita tidak mencukupi uang pengganti kerugian negara tersebut, maka diganti dengan pidana 10 tahun penjara.
Untuk diketahui, dalam dakwaan JPU bahwasannya ditemukan beberapa hal diduga sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Alex Noerdin (mantan Gubernur Sumatera Selatan), Muddai Madang (mantan Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) merangkap Direktur Utama PDPDE Sumatera Selatan), serta terdakwa Caca Ica Saleh S (mantan Direktur Utama PDPDE dan mantan Direktur Utama PDPDE gas), dan terdakwa A Yaniarsyah Hasan (mantan Direktur PT Dika Karya Lintas Nusantara (DKLN) merangkap Direktur PT PDPDE Gas, mantan Direktur Utama PDPDE Sumsel).
Diuraikan di mana Pemerintah Provinsi Sumsel, memperoleh alokasi untuk membeli gas bumi bagian negara dari PT. Pertamina, Talisman Ltd. Pasific Oil and Gas Ltd., Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 MMSCFD berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengelola Minyak Dan Gas (BP MIGAS) atas permintaan Gubernur Sumatera Selatan pada tahun 2010. Bahwa berdasarkan keputusan Kepala BP Migas tersebut yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara tersebut adalah BUMD Provinsi Sumatera Selatan yaitu PDPDE Sumsel.
Akan tetapi dengan dalih PDPDE Sumsel, tidak mempunyai pengalaman teknis dan dana, maka perusahaan BUMD tersebut bekerja sama dengan investor swasta, PT Dika Karya Lintas Nusa (PT DKLN) membentuk perusahaan patungan (PT PDPDE Gas) yang komposisi kepemilikan sahamnya 15 persen untuk PDPDE Sumatera Selatan dan 85 persen untuk PT DKLN.
Akibat dari penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang menurut perhitungan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan RI senilai USD 30.194.452.79. Besaran tersebut berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010 - 2019, yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel. Senilai USD 63.750,00 dan Rp2.131.250.000,00 yang merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel.
Adapun dalam kasus tersebut para terdakwa dikenakan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tidak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang (UU) nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sedangkan pada kasus korupsi Masjid Sriwijaya kronologi kasus yang menyeret Alex Noerdin tersebut, berawal Pemprov Sumsel, menyalurkan dana hibah kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang, untuk pembangunan masjid yang digadang-gadang terbesar di Asia Tenggara, sebanyak dua kali, yakni pada 2015 dan 2017.
Pada 2015 dengan menggunakan APBD 2015 sebesar Rp50 miliar dan kedua pada 2017 menggunakan APBD 2017 sebesar Rp80 miliar. Setelah diusut, penganggaran dana hibah tersebut tidak sesuai prosedur perundang-undangan.
Selain itu, Kejati Sumsel juga menemukan fakta Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya tersebut tidak beralamat di Palembang, melainkan di Jakarta. Kemudian, kejanggalan lainnya adalah terkait lahan pembangunan masjid yang awalnya dinyatakan Pemprov Sumsel, sebagai aset milik pemprov, tetapi ternyata sebagian adalah milik masyarakat. Puncaknya adalah ketika pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang tersebut tidak kunjung rampung.
Terhadap putusan majelis hakim, Alex Noerdin sendiri melalui sambungan teleconference menyampai sikap untuk banding. "Kami banding yang mulia," terang Alex Noerdin.