Indragiri Hulu, Gatra.com – Endang Hendri Susanto salah seorang pekerja di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V Amo I Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, ancam akan melakukan gugatan secara perdata kepada PT Werkz Agro Lestari (WAL) ke Pengadilan Negeri (PN) Rengat, lantaran upah dari hasil kerjanya tak kunjung dibayarkan.
"Kita akan ajukan gugatan secara perdata di PN Rengat dalam waktu dekat ini menyusul somasi yang sebelumnya sudah kami layangkan kepada menejemen PT WAL," ungkap Budi Wiranata selaku kuasa hukum Endang kepada wartawan, Senin (13/6).
Adapun somasi yang dilayangkan oleh Budi yakni buntut dari wanprestasi (cidera janji) di karenakan tidak membayarkan upah kerja terhadap klientnya sesuai dengan SPK Nomor: 002/SPK/PTWAL-DZR/MEKANIS/II/2022.
Dalam somasi tersebut, mereka menuntut agar kontraktor perusahaan pelat merah itu segera membayarkan upah kerja yang hingga saat ini masih tertunggak sebesar Rp259.827.000 sesuai dengan SPK yang telah disepakati. Bahkan, ia mengklaim dikarenakan keterlambatan pembayaran upah para pekerja itu, kini kliennya selaku pemborong di perusahaan pelat merah tersebut juga mengalami kerugian materil sebesar Rp200 juta.
"Dengan demikian, total yang harus dibayarkan oleh PT Werkz Agro Lestari kepada Endang Hendri Susanto selaku klien dari Kantor Hukum Budi Wiranata & Rekan adalah sebesar, Rp459.827.000,- hal ini yang kita tuntut nantinya," ungkap dia.
Budi menjelaskan, dari kontrak SPK Nomor: 002/SPK/PTWAL-DZR/MEKANIS/II/2022 yang sebelumnya telah disepakati merupakan pekerjaan dalam hal pembersihan gawangan antar baris tanaman karet KSO PTPN V yang terletak di Desa Rimpian, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Inhu, Riau.
Sebelumnya, sengkeraut persoalan di perusaan pelat merah asal Inhu itu juga pernah terjadi beberapa waktu lalu. Para penderes di sana mengaku kecewa lantaran upah dari hasil kerja tidak pernah berbanding lurus serta diikuti dengan sistem kerja yang terkesan memberatkan para penderes hingga akhirnya menimbulkan kesan buruh bagi perusaan pelat merah tersebut.
Anto, bukan nama sebenarnya, kepada Gatra.com mengatakan, dari sekitar 2.700 hektare lahan milik PTPN V Amo I hanya diisi sekitar 110 orang tenaga penderes, angka karyawan itu tentunya tidak berbanding lurus dengan luasan lahan yang di kelola oleh mereka. Terlebih lagi, perkebunan karet itu terdiri dari 6 devisi atau afdeling yang tiap afdeling diperkirakan seluas 400-500 hektare.
Selain itu, lanjut Anto, yang bekerja sebagai penderes itu menyebutkan tekanan pekerjaan serta hak karyawan sering kali menjadi persoalan di tingkat sesama penderes salah satu meniadakan hari libur kerja dalam konidisi apa pun. Ini menjadi momok bagi pekerja karena dituntut untuk kerja ekstra dengan upah yang juga tak berbanding lurus.
"Contohnya saja, kami para penderes dituntut oleh PT WAL harus terus bekerja tanpa ada hari libur sama sekali, meski dalam kondisi cuaca huja, kami para penderes juga harus tetap melakukan aktivitas penyedotan latex atau getah karet," ungkap Anto kepada Gatra.com, Sabtu (23/4).
Padahal menurut pekerja yang sudah berdikari sejak 10 tahun silam itu, seyogyanya jika dalam kondisi cuaca hujan batang karet tidak lah baik jika di paksakan untuk terus melakukan penyedotan getah karet, karena berdasarkan pengalaman kerjanya jika hal itu di paksakan maka produksi latex justru tidak akan maksimal.
"Seyogyanya jika dalam kondisi hujan batang karet tidak lah cocok jika dilakukan penyedotan karena itu akan memerangaruhi kesehatan batang pohon, rentan berjamur dan memengaruhi jumlah produksi getah, tentunya hal ini merugikan negara yang mana hal itu yakni PTPN V Amo I," ujarnya.
Selain itu, persoalan upah juga menjadi masalah utama bagi para penders di sana, pasallnya sejak tender jatuh kepada PT WAL jika biasanya para pekerja dapat mengatongi uang sebesar Rp5-6 juta tiap bulannya, maka berbeda ceritanya sejak tiga bulan lalu.
"Potongan upah terus terasa serta keterlambatan gaji menjadi kendala bagi kami para penderes getah, padahal kami tiap harinya harus membiayai kehidupan keluarga, baik untuk sekolah anak hingga kebutuhan hidup sehari-hari," ungkapnya.
Anto menyebut jika sekarang di bawah komando PT WAL pihaknya dituntut agar mendapatkan latex kering seberat 60 Kilogram tiap harinya tanpa memandang situasional alam hingga faktor pendukung perkerja lainnya.
Potongan harga per kilogramnya juga relatif besar hingga memberatkan perekonomian penderes di sana. "Semua informasi atas kontrak dari PTPN V Amo I bersama PT WAL tanpa melibatkan kami para pekerja, begitu pula harga yang di tentukan oleh PT WAL sangat tidak bersaing," ungkapnya.
"Jika sebelumnya para penderes dalam masa rajinnya bekerja tiap bulan diperkirakan mendapatkan upah Rp5-6 juta, maka tidak dengan saat ini yang hanya mendapatkan upah sebesar Rp3 juta dikarenakan PT WAL hanya membeli karet hasil penderesan sebesar Rp3000/Kg-nya," ungkapnya.
Masih kata dia, sengkarut persoalan PTPN V Amo I di bawah kontrak PT WAL juga masih dinilai tidak profesional, dimulai dari minimnya ketersediaan tenaga kerja hingga alat pendukung teknis para penderes saat melakukan proses penyadapan getah karet. Terkait ini, Gatra.com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.