Yogyakarta, Gatra.com – Sejumlah organisasi masyarakat meminta KPK untuk tidak berhenti dalam penindakan dugaan korupsi oleh eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti. Masifnya pembangunan di berbagai pelosok DIY diduga kuat juga banyak pelanggaran.
Hal ini disampaikan berbagai lembaga dalam jumpa pers yang digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (9/6). Selain LBH, hadir Pukat UGM, IDEA, WALHI, LHKP PP Muhammadiyah, pegiat sepeda, dan korban penggusuran Jalan Pasar Kembang.
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan indikasi kuat adanya kecurangan lain adalah jarangnya KPK melakukan OTT saat tersangka menerima suap yang pertama kali.
“Biasanya sudah penerimaan yang kesekian kalinya. Nah, ini menjadi tugas KPK untuk mengungkap penerimaan lainnya. Terutama pada kasus Haryadi Suyuti, KPK harus mereview berbagai perizinan yang dikeluarkan selama menjabat dari 2012-2022,” katanya.
Selain pada kasus lain, Pukat UGM meminta KPK untuk menerapkan UU Administrasi Pemerintah khususnya dalam aspek perizinan. Jika penyelidikan menemukan adanya cacat prosedur atau substansi dalam perizinan, termasuk berupa penyuapan, izin yang sudah keluar harus dibatalkan.
Zaenur meyakini, dalam kasus Haryadi, ada pelaku lain yang belum terungkap. Pihaknya meminta KPK menggunakan pendekatan tindak pidana pencucian uang untuk melihat aliran dana.
“Ini penting untuk bisa mengungkap para pelaku secara komprehensif bagi pemberi maupun pihak-pihak lain yang menerima dana suap tersebut. Jadi suap receh ini bisa dikembangkan. Ini sudah terjadi di kasus-kasus sebelumnya seperti di Bangkalan, Kebumen, dan Probolinggo,” jelasnya.
Adapun WALHI menyoroti kebijakan sebelum moratorium pendirian hotel di Kota Yogyakarta pada 2014. Sebelum itu, Haryadi telah mengeluarkan izin 104 hotel dan apartemen. WALHI punya dugaan kuat perizinan hotel itu melanggar tata ruang dengan pemanfaatan lahan yang berlebihan.
Dari IDEA, peneliti Ahmad Haedar menyatakan, dalam periode 2015-2018 KPK menerima 192 laporan dugaan korupsi di DIY. Jumlah penindakan yang dilakukan KPK di DIY, menurut dia, sangat rendah.
“Ini menunjukkan ada ketidakmampuan atau keenganan KPK melakukan penindakan korupsi di DIY. Padahal aspek tindak pidana korupsi di sini sangat besar, terutama dugaan penyalahgunaan Dana Keistimewaan,” kata Haedar.
Haedar menyatakan, penggunaan Danais selama ini tidak terbuka pada publik.
“Ketidaktransparan dalam pengelolaan Danais ini juga seharusnya mendapatkan perhatian besar dari KPK. Jangan hanya mencegah saja di Yogyakarta, tapi juga menindak,” tegasnya.
Direktur LBH Yulian Dwi Prasetya menyatakan, selain meminta KPK untuk menelisik berbagai kasus dugaan korupsi, pihaknya ingin ada pengawasan ketat pada berbagai proyek nasional yang akan dikerjakan di DIY.
“Kami juga mewakili rekan-rekan komunitas pedagang di Jalan Pasar Kembang, komunitas sepeda, dan warga terdampak pembangunan untuk dikembalikan hak-haknya,” tutupnya.