Jakarta, Gatra.com- Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM, Chrisnawan Anditya mengatakan, pemerintah telah berkomitmen melakukan reformasi subsidi energi agar tepat sasaran. "Kita harus memperhatikan masyarakat agar mendapat akses energi dengan harga terjangkau. Itu menjadi perhatian dalam energi transisi," kata Chrisnawan dalam webinar bertema “Increasing Fiscal Space in Times of Economic Uncertainty: The G20 Energy Communique and Leaders Declaration”, Rabu (8/6).
Menurut Chrisnawan, reformasi subsidi sudah dilakukan, diantaranya sektor listrik. Diharapkan, kebijakan subsidi ini lebih terarah dari komoditi ke subsidi langsung ke masyarakat. "Dilakukan dengan tetap memperhatikan ketersediaan anggaran negara untuk transisi energi," ujarnya.
Terkait transisi energi, Menteri Koordinator Bidang perekonomian, Airlangga Hartarto menambahkan, Indonesia saat ini dalam proses persiapan penerapan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Instrumen NEK memberi harga pada emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai kegiatan produksi maupun jasa.
"Penerapan instrumen NEK di satu sisi diharapkan dapat mendorong industri lebih sadar lingkungan dan membatasi emisi gas rumah kaca hingga batas tertentu," kata Airlangga.
Ia menambahkan, di sisi lain, instrumen NEK berperan sebagai instrumen pendanaan alternatif untuk mencapai target perubahan iklim Indonesia. Hal itu baik Nationally Determined Contribution atau NDC 2030 maupun Net Zero 2060.
Untuk mendukung implementasi NEK, pemerintah menerapkan UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres No. 98 tahun 2021. Perpres ini menjadi dasar penerapan berbagai instrumen NEK seperti Emission Trading System atau perdagangan emisi, Offset crediting atau kredit karbon, dan Pembayaran Berbasis Kinerja atau Result Based Payment. Sementara di level teknis, pemerintah tengah menyelesaikan peraturan turunan Perpres tersebut.
"Pada 2021, pemerintah merintis skema voluntary cap and trade, dan offset crediting, yang melibatkan beberapa produsen listrik baik milik pemerintah maupun swasta. Secara pararel pemerintah bekerjasama dengan beberapa lembaga internasional dalam melakukan penjajakan dan kajian pengembangan kebijakan-kebijakan dan skema perdagangan karbon melalui Internationally Traded Mitigation Outcomes (ITMOs)," ujarnya.
Ke depan, yaitu pada Juli 2022, Indonesia berencana menerapkan skema cap-trade-tax dan offset untuk Pembangkit Listrik berbahan bakar batubara. Melalui skema ini, pembangkit listrik betbahan bakar batubara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas akan dikenakan biaya tambahan.
Senior Director, Energy at the International Institute for Sustainable Development Peter Wooders menjelaskan, penjelasan Menteri Airlangga menunjukkan komitmen Indonesia mengenai transisi energi. "Tentu akan banyak kesulitan dalam mengimplementasikan hal itu," kata dia.
Peter mengatakan, reformasi subsidi bahan bakar fosil untuk merasionalisasi subdidi yang tidak efisien dan menghilangkan subsidi yang tidak tepat. "Seperti kita tahu subsidi bahan bakar fosil membutuhkan banyak uang. Dengan mengubah anggaran tersebut ke tempat lain menjadi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan, itu lebih baik. Produksi bahan bakar fosil meningkatkan polusi udara. Kita harus reformasi secepatnya," ungkapnya.
Senior Policy Advisor and Lead International Institute for Sustainable Development, Lourdes Sanchez menambahkan, akan melakukan dialog dengan Energy Transitions Working Group (ETWG). Pada dialog tersebut, yaitu dalam agenda recover better akan memasukkan isu mengenai pengembangan energi berkelanjutan.
"G20 memiliki peran penting dalam perubahan iklim. Dunia melihat kelompok ini mendekarbonisasi, yaitu melakukan transisi dan mereformasi aspek subsidi. Hal ini merupakan sesuatu yang komplek. Saya menunggu diskusi tentang ini. Karena kita tahu subsidi itu melekat ke masyarakat sehingga sulit dihilangkan. Tapi itu tantangan di generasi kita," ujarnya