Jakarta, Gatra.com – Gerakan #BersihkanIndonesia mengapresiasi pernyataan Direktur Utama (Dirut) Bank BRI, Sunarso, bahwa pihaknya berkomitmen untuk menghentikan pembiayaan bagi sektor energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi.
Peneliti dari Trend Asia, Andri Prasetiyo, dalam siaran pers diterima pada Senin (6/6), menyampaikan, langkah Bank BRI tersebut sangat tepat dan sudah seharusnya mulai dilakukan atau diwujudkan agar bukan sebatas pernyataan verbal dalam forum internasional, yakni World Economic Forum di Davos, Swiss, Rabu (25/5).
Ia melanjutkan, Gerakan #BersihkanIndonesia meminta bank pelat merah tersebut segera menuangkan secara tertulis dalam dokumen dan kerangka acuan pembiayaan perseroan ke depannya.
Menurutnya, jika tidak menuangkannya, maka bank ini masih mendukung pendanaan energi kotor. Ini kemungkinan bakal mendapat sentimen buruk karena seolah tidak sensitif terhadap kondisi lingkungan.
Andri lebih lanjut menyampaikan, implementasi kebijakan tersebut bukan hanya berdampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga kian membuka luas peluang untuk mengembangkan pendanaan bisnis hijau dan perusahaan juga akan terhindar dari risiko stranded asset.
“BRI tercatat mengambil bagian dalam kredit sindikasi untuk Mega Proyek PLTU Jawa 9-10 yang menelan biaya hingga Rp40 triliun dengan kapasitas 2.000 MW. PLTU Jawa 9-10 saat ini sedang masuk tahap pembangunan awal, bila BRI serius terhadap komitmennya, BRI juga dapat mengawalinya dengan menarik keterlibatannya dari proyek ini,” ujarnya.
Anggota Gerakan #BersihkanIndonesia dari Asosiasi Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Piyus Ginting, menyampaikan apresiasi pernyataan Sunarso karena energi fosil telah merusak lingkungan melalui emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dan menyebabkan peningkatan laju perubahan iklim.
Mendanai energi fosil juga berarti menambah penderitaan petani. Pasalnya, kata dia, Bank BRI saat ini gencar menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Pada tahun 2021, PT BRI (Persero) Tbk. tercatat menguasai 28,3% pangsa pasar (market share) penyaluran kredit ke sektor pertanian dari seluruh industri perbankan nasional.
Koordinator AEER tersebut lebih lanjut menyampaikan, petani menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim yang menyebabkan banjir atau kekeringan, peningkatan suhu udara, dan intensitas serangan hama. Ini akan menyebabkan gagal panen dan merusak tanam serta menurunnya produktivitas pertanian.
Gagal panen tentunya membuat petani merugi serta mengganggu kondisi keuangan mereka dan berpotensi tidak dapat melunaskan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diberikan bank. Padahal, sejatinya KUR untuk memperkuat modal kerja para petani dan membuat sejahtera kehidupan mereka.
“Berhenti mengalirkan kredit ke sektor energi fosil, Bank BRI membantu menekan laju perubahan iklim dan meminimalisasi potensi gagal panen sehingga akan menyelamatkan petani dari ancaman gagal membayar KUR,” ujarnya.
Sementara itu, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore, mengatakan, pendanaan pada industri ekstraktif, termasuk batu bara dan minyak bumi, menyebabkan meluasnya kerusakan sehingga membuat merosotnya kualitas lingkungan dan hilangnya sumber penghidupan komunitas lokal dan memicu krisis iklim.
Fanny mengungkapkan, lebih dari separuh luas daratan negara ini telah diambil alih oleh sektor industri ekstraktif. Setidaknya, izin sektor pertambangan terus merangsek hingga menguasai setidaknya 97,7 juta hektare luas kawasan di Indonesia.
“Pemusatan keuntungan pada segelintir tangan melalui industri energi fosil ini bertolak belakang pada upaya untuk mengatasi laju krisis iklim,” ujarnya.
Fanny menyampaikan, langkah Bank BRI tersebut harus menjadi sinyalemen bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta sektor pendanaan lainnya untuk memperbaiki visi dan arah kebijakan pendanaan di Indonesia.
Menurutnya, sektor energi fosil seharusnya sudah tidak lagi mendapat tempat pada taksonomi hijau, serta tidak lagi dipermudah dalam mendapatkan sokongan pendanaan. Lembaga keuangan yang ada sekarang harus mengambil peran dalam mitigasi perubahan iklim melalui pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi regeneratif dan berkelanjutan, sebelum ditinggal oleh nasabah dan investor yang memiliki kepedulian terhadap bumi ini.