Jakarta, Gatra.com – Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta mengabulkan seluruh gugatan DH, aparatur sipil negara (ASN) penyandang disabilitas terhadap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN).
Charlie dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam keterangan pers diterima pada Jumat (3/6), menyampaikan, majelis hakim juga menyatakan SK Menkeu soal pemberhentian DH cacat prosedur dan substansi hukum.
“Hakim juga memerintahkan Menkeu dan BPASN untuk memulihkan hak DH sebagai ASN di Kementerian Keuangan RI,” ujarnya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa SK pemberhentian DH cacat prosedur karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa yang dimandatkan PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan hanya didasarkan atas penilaian atasan.
“Adanya tim pemeriksa tersebut dimaksudkan agar pemberhentian ASN dilakukan secara komprehensif, objektif dan terhindar dari penilaian yang subjektif,” ujanya.
Selain itu, hakim juga menilai bahwa DH terbukti secara sah menderita skizofrenia paranoid yang merupakan bentuk disabilitas mental pada saat ia dianggap mangkir dan tidak dapat melakukan pembelaan. Hal tersebut didasarkan hakim pada bukti surat, saksi dan ahli yang dihadirkan di persidangan.
Kondisi tersebut menurut majelis hakim merupakan alasan yang sah dan masuk akal, sehingga seharusnya pada saat DH memberitahukan kondisi tersebut pada Kemenkeu dan meminta dipekerjakan kembali, Kemenkeu sudah seharusnya meninjau kembali SK Pemberhentian dan memulihkan hak DH berdasarkan ketentuan UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Majelis hakim juga menyatakan bahwa SK Banding Aministratif BPASN yang menolak permohonan banding DH terbukti cacat hukum. Pasalnya, SK BPASN tersebut tidak diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan PP No 79 Tahun 2021.
Majelis hakim menilai penolakan upaya administratif DH merupakan tindakan diskriminatif karena tidak mempertimbangkan kondisi DH sebagai Penyandang disabilitas mental.
Dalam putusannya, majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan DH Nomor 22/G/2021/PT.TUN.JKT. dan menyatakan SK Menkeu soal dijatuhkan dengan cacat prosedur dan cacat substansi hukum. Hakim juga memerintahkan Menkeu dan BPASN untuk memulihkan hak DH sebagai ASN di Kementerian Keuangan RI.
Ratna Dewi dari Perhimpunan Jiwa Sehat menambahkan, DH merupakan seorang ASN penyandang disabilitas mental yang pada 15 November 2021 menggugat Menteri Keuangan RI atas pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri yang dikirimkan pada keluarganya pada Februari 2021.
Dasar pemberhentian tersebut karena DH dianggap mangkir dari pekerjaan dalam beberapa periode waktu di tahun 2020. Padahal, itu diakibatkan oleh skizofrenia paranoid yang mulai diderita DH yang saat itu tidak tertangani. DH diberhentikan setelah 10 tahun lebih mengabdi pada instansi tersebut.
“Kami berpandangan bahwa putusan ini merupakan preseden penting bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas, khususnya hak-hak disabilitas mental di Indonesia,” katanya.
Atas putusan PTTUN tersebut, kata Ratna, LBH Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat ?menuntut Menkeu dan BPASN untuk segera menjalankan putusan dan tidak mengajukan upaya hukum. Hal ini sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab negara terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
Adapun amar putusan majelis hakim PTTUN Jakarta dalam perkara gugatan DH versus Menkeu dan BPASN, yakni:
Dalam Eksepsi:
1. Menyatakan seluruh eksepsi yang diajukan Tergugat I dan Tergugat II tidak dapat diterima.
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan batal surat keputusan BPASN perihal banding administratif atas nama penggugat.
3. Menyatakan batal surat keputusan Menkeu tentang penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan horma tidak atas keinginan sendiri kepada penggugat.
4. Memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut keputusan banding administratif atas nama penggugat.5. Memerintahkan tergugat II untuk mencabut Surat Keputusan Menkeu tentang penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan horma tidak atas keinginan sendiri kepada penggugat.
6. Memerintahkan tergugat I dan II untuk merehabilitasi seluruh hak penggugat sebagai ASN di lingkungan Kemenkeu RI setelah dokter penguji kesehatan PNS menyatakan penggugat layak untuk bekerja kembali.
7. Memerintahkan tergugat I dan II untuk mengusulkan pemeriksaan dokter penguji kesehatan kepada penggugat.
8. Menyatakan biaya perkara dibebankan kepada Negara.