Jakarta, Gatra.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyampaikan, bukan hanya AKBP Raden Brotoseno yang tidak dipecat meski melakukan perbuatan jahat nan bejat. Ada beberapa oknum polisi yang juga tetap dipetahankan.
Teo Reffelsen dari LBH Jakarta dalam keterangan pers lembaga ini pada Jumat (3/6), menyampaikan, pihaknya mencatat ada beberapa oknum anggota Polri yang juga selamat dari pemecatan. Mereka masih berstatus anggota Koprs Bhayangkara meski sudah dilakukan sidang pidana, etik dan disiplin maupun yang tidak diproses sama sekali. Beberapa kasus versi LBH Jakarta, yakni:
Pertama, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri tersebut masih berstatus anggota Polri aktif dan belum dicopot dari jabatannya meskipun kasus suap red notice Djoko Tjandra telah berkekuatan hukum tetap.
Kedua, dua orang terdakwa kasus penyerangan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, Bripka Ronny Bugis dan BriptuRahmat Kadir Mahulette yang telah dijatuhi vonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 16 Juli 2020. Keduanya diketahui masih menjadi polisi aktif.
Ketiga, kasus penyiksaan (torture) yang dialami oleh 6 pengamen Cipulir, Jakarta Selatan yang dilakukan oleh Anggota Kepolisian dari Unit Jatanras Polda Metro Jaya. Pelaporan terhadap kasus ini mandek dan tidak ada perkembangan sampai dengan sekarang.
Keempat, kasus Penembakan Anggota Pront Pemela Islam (FPI) di KM 50, yang dilakukan oleh Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella. Kelima, kasus penyiksaan (torture) terhadap M. Fikry, dkk yang dilakukan oleh Polsek Tambelang dan Jatanras Polres Metro Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Jabar).
Terkait tidak dilakukan pemecatan dan tidak ditindaknya para oknum polisi bengal tersebut, Nelson Nikodemus Simamora juga dari LBH Jakarta, menyampaikan, LBH menilai dipertahankannya atau tidak diberentikannya secara tidak hormat para oknum polisi tersebut sangat mengusik rasa keadilan.
Menurutnya, Pasal 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat menjadikan sidang Etik dan Disiplin menjadi ruang impunitas bagi Anggota Kepolisian yang terbukti bersalah dan semestinya diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran, dan meninggalkan tugas atau hal lain.
Selain itu, tentunya kasus-kasus tersebut dapat mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat dan menjadi salah satu indikator bahwa reformasi di tubuh kepolisian mengalami kebuntuan atau kegagalan. Jika dibiarkan akan semakin menggerus wibawa dan kepercayaan masyarakat atas institusi kepolisian.
“Kasus tetap dipertahankannya AKBP Raden Brotoseno sebagai anggota kepolisian meskipun telah diputus bersalah oleh Pengadilan melakukan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa yang dilakukan dalam jabatannya,” kata dia.
“Kami menilai kasus-kasus tersebut merupakan bentuk impunitas terhadap anggota kepolisian yang telah melakukan tindak pidana dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” ujarnya.
Semestinya, lanjut Nelson, oknum anggota kepolisian yang terlibat sebagai pelaku selain dihukum secara pidana juga diberhentikan secara tidak dengan hormat melalui sidang etik dan disiplin. Sayangnya, seringkali yang terjadi sidang etik maupun disiplin justru menjadi sarana impunitas bagi anggota kepolisian. Bahkan dalam beberapa kasus Anggota Kepolisian yang melakukan pelanggaran/kejahatan tidak diproses, baik secara disiplin, etik maupun pidana. Hal tersebut tentu adalah praktik diskriminasi hukum serius yang tidak boleh dibiarkan.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas membuktikan bahwa mekanisme pengawasan secara internal dan eksternal di kepolisian lemah sehingga hal-hal tersebut terjadi bahkan terus mengalami pengulangan.