Jakarta, Gatra.com - Kalau harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit kami tak juga kembali ke angka sebelum ekspor bahan baku minyak goreng (migor), migor dan Crude Palm Oil (CPO) dilarang, mau tak mau ratusan pengurus Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dari 146 Dewan Pengurus Daerah (DPD) yang berada di 22 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) terpaksa menggelar ‘rapat’ gabungan bersama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di depan kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jakarta.
"Anak-anak kami yang kuliah di 124 kampus dan tergabung dalam Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia juga bakal ikut sebagai notulen," bergetar suara Gulat Medali Emas Manurung mengatakan itu kepada Gatra.com.
Ketua Umum DPP Apkasindo ini kebetulan baru kelar memenuhi undangan Amsterdam Declarations Partnership (AMP) di Embassy of Denmark di kawasan Kebayoran Baru Jakarta, kemarin.
"Dari depan kantor Kemendag, kami akan berjalan kaki ke Istana Negara untuk mengadukan nasib kami kepada Presiden Jokowi, bahwa kami telah terancam tidak makan dan anak-anak kami terancam tak melanjutkan pendidikan lagi," ujar Gulat.
Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini mewanti-wanti agar siapapun jangan pernah bilang kalau mereka diboncengi kepentingan pihak lain.
"Kami hanya memikirkan ‘dapur’ kami yang sudah nyaris tak ngebul, dan apapun akan kami lakukan ketika ‘dapur’ kami terganggu. Saya rasa siapapun akan seperti itu saat ‘dapur’nya terganggu,” tegasnya.
Gulat menyebut, "rapat gabungan" tadi menjadi satu-satunya cara yang bisa mereka kami lakukan setelah 17 Mei lalu.
Dan itu juga terpaksa demi ‘dapur’ keluarga mereka. Sebab Menteri terkait yang diharapkan bergegas menjalankan titah Presiden Jokowi, justru malah memperburuk keadaan.
Sepuluh hari setelah larangan ekspor dicabut kata Gulat, harga TBS petani malah makin anjlok. Rata-rata harga TBS petani swadaya cuma dihargai Rp1.900 dan petani yang bermitra Rp2.240.
“Kalau harga TBS petani swadaya segitu, dipastikan kami masih tetap tekor. Sebab pupuk saja harganya sudah naik 300%. Kalau dibandingkan dengan sebelum larangan ekspor, harga Rp1.900 itu sudah anjlok hingga 60%. Kalau kondisi ini masih berlarut, harga TBS petani akan terjun hingga di angka Rp1000 perkilogram atau bahkan tidak laku lagi lantaran PKS maupun Refinary sudah kewalahan menyimpan CPO hasil olahan TBS petani. Penyebabnya, ya karena ekspor belum juga berjalan,” katanya.
Kenyataan semacam inilah kata Gulat terkesan tak diambil pusing oleh Kemendag. Buktinya, berapa persen Domestic Market Obligation (DMO) dan berapa rupiah Domestic Price Obligation (DPO) belum juga ketahuan. Praktis, ekspor terhambat. “Bagi kami cara-cara seperti ini adalah paduserasi menghancurkan harga TBS petani,” ujarnya.
Mestinya kata Gulat, Mendag paham dengan isi pidato Presiden Jokowi pada 19 Mei lalu yang mengatakan bahwa pencabutan larangan ekspor itu lantaran memikirkan nasib 17 juta petani sawit dan pekerja sawit.
Tapi yang ada ya itu tadilah. “Kemendag justru membikin kekacauan baru dengan menghadirkan double beban terhadap harga TBS Petani.
Yang membikin makin miris itu kata Gulat, Kemendag dan Kementerian Perindustrian justru saling meniadakan dikebijakan masing-masing.
“Tengoklah isi Permendag dan Permen Perindustrian tentang Minyak Goreng Sawit (MGS), saling tumpang tindih. Lagi-lagi dampaknya, harga TBS jebol ke harga terendah sejak tanggal 23 Mei dan kami petani sawit menjadi korban utamanya,” ujar Gulat.
Seharusnya kata Doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini, selepas pencabutan larangan ekspor itu, Kemendag cukup melanjutkan program subsidi MGS curah dan memberlakukan subsidi MGS kemasan sedehana.
Lalu untuk memastikan komitmen korporasi sawit pada ketersediaan bahan baku MGS domestik, Kemendag cukup memberlakukan DMO. “Tak perlu ada DPO lantaran “kran harga” sudah diatur di pungutan ekspor yang cukup tinggi itu,” katanya.
Lelaki 49 tahun ini kemudian merinci bahwa pada Februari lalu DMO dan DPO mulai diberlakukan. Tak lama berselang, diganti pula dengan aturan regulasi MGS curah yang disubsidi pakai duit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Akibatnya Pungutan Eksport (PE) membengkak dari USD175 per ton menjadi USD375. Praktis, PE ini setara dengan sepertiga dari harga per ton CPO yang diekspor.
Kalau ditambah dengan Bea Keluar (BK) yang USD200 per ton CPO, maka nilainya sudah setara dengan setengah dari harga per ton CPO yang diekspor itu.
“Ini telah menjadi sejarah dan cuma terjadi di industri sawit. Bahwa beban yang ditanggung oleh komoditi itu, sudah mencapai setengah dari harga jualnya,” ujar Gulat.
“Dari uraian tadi makanya saya bilang, Kemendag tak perlu lagi memberlakukan DPO tapi cukup DMO dan subsidi MGS curah dan kemasan sederhana. Saya yakin dengan aturan main semacam ini, ekspor pasti jalan, harga TBS kami terjaga dan MGS rakyat akan terpenuhi sesuai dengan pidato dan keinginan Presiden. Tapi lagi-lagi itu tadi, saya enggak tahu keputusan Kemendag yang sekarang ini untuk kepentingan siapa. Saya melihat Kemenko Perekonomian juga kurang seirama mengkoordinasikan Kementerian yang dibawahnya," panjang lebar Gulat mengurai.
Tak mengada-ada Gulat mengatakan bahwa program MGS rakyat itu akan berjalan lantaran dari hitungan PE yang ada --- USD375 per ton ---, tahun ini akan berpotensi terkumpul Rp140 triliun. Sementara kebutuhan untuk MGS hanya Rp20 triliun setahun.
“Ingat, duit PE yang terkumpul di BPDPKS itu bukan duit APBN lho, tapi hasil ‘urunan' pelaku sawit. Petani sawit menjadi penyumbang utama; Rp920 per kilogram dan kami ikhlas itu digunakan untuk mensubsidi MGS curah dan kemasan sederhana,” omongan Gulat terdengar tegas.
Abdul Aziz