Oleh: Sawariyanto
Bagi kebanyakan wartawan, Ahmad Syafii Maarif, adalah narasumber penting yang tidak sulit untuk ditemui. Sosoknya yang sederhana nyaris tidak pernah menolak untuk diinterview, baik secara langsung maupun sekedar melalui sambungan telepon.
Buya, demikian dia biasa disapa, tak hanya menanggapi setiap pertanyaan yang dilontarkan para jurnalis dengan lugas dan jelas, tak jarang dia juga menunjukan kerisauannya ketika wartawan memberitahukan kondisi yang tidak sesuai dengan harapannya. Sedih dan kecewa. Ekpresinya selalu jujur jauh tidak sekedar bersandiwara.
Begitulah, laki-laki asal Sumatera Barat ini tak hanya memberikan pendapat ketika ditanya, dia juga tak sungkan-sungkan untuk bertanya kepada para pencari berita mengenai informasi yang tidak diketahuinya. Meski seorang pengajar, Mantan Dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), ini jauh dari sikap menggurui ketika berdiskusi.
Dia tak hanya senang membagi informasi, sesekali dengan gayanya yang ramah Buya juga sering menggali berita dari teman berdialognya. Termasuk kepada wartawan yang sering menyambanginya. Uniknya Syafii juga ringan untuk melangkahkan kaki ke kerumunan wartawan yang kebetulan sedang meliput satu acara tertentu, dengan ramah menyapa dan menanyakan kabar para awak media.
Sekitar lima belas tahun lalu, kami yang kala itu aktif sebagai wartawan GATRA di Kantor Biro Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, cukup merasakan kehangatan beliau dalam menjalin hubungan. Entah berapa kali semasa menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhamadiyah tahun 1998-2005, dia mengunjungi kami. Mengendarai sendiri mobil miliknya, Profesor Sejarah UNY ini, kerap bertandang ke Babarsari, lokasi kantor kami berada.
Biasanya Syafii langsung ke lantai dua tempat kami bekerja, mengucapkan salam dan langsung duduk di sofa sederhana tempat kami biasa istirahat. “Kalian kerja saja, saya cuma mau duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol saja,” ujarnya, khawatir kalau kedatangannya akan mengganggu kami.
Beberapa teman yang serta merta berdiri menyambut kedatangannya seketika duduk kembali, ketika Buya meminta kami untuk 'santai' saja.
Sambil melahap tumpukan koran baru yang ada di meja, Syafii terus menemani kami kerja sambil sesekali ngobrol dan menanyakan berita-berita baru yang mungkin tidak terpantaunya. Jika kebetulan dia datang pas waktu “deadline” kami tentu saja tak ada yang bisa menemaninya, hanya bisa ngobrol dari meja masing-masing.
Hebatnya, Syafii tak mempermasalahkan hal itu. “Jangan sampai saya mengganggu kalian, terus saja ngetik,” katanya.
Sesekali teman yang paling senior mengingat kami, agar yang kerjaannya sudah selesai untuk menemani Pak Syafii duduk di sofa. “Tamu kita ini Ketua Umum PP Muhamadiyah lo,” ujar teman saya berbisik, seolah-olah mengingatkan kami pentingnya orang yang ada dihadapan kami.
Ternyata Buya mendengarnya. “Tak apa saya mau menikmati teh buatan Pak Ranto,” ujarnya menyebut nama teman kantor kami yang biasa melayani tamu. Sejurus kemudian untuk mencairkan suasana Buya malah bercanda untuk mencairkan suasana.
Berkali-kali, jika ada waktu luang Syafii selalu mengunjungi kami sekedar untuk ngobrol-ngobrol atau cuma untuk membaca koran dan berdiskusi. Memang lebih sering kami bisa menemaninya duduk-duduk di sofa sederhana, yang juga sebagai tempat kami biasa menerima tamu. Tapi, tetap saja ada masa dimana kedatangannya bertepatan deadline tulisan yang harus kami rampungkan.
Untungnya Buya, menyadari keterbatasan waktu kami, beliau tetap saja menyempatkan singgah di kantor kami jika ada waktu luang. Tak pernah marah, selalu saja melemparkan senyum lebarnya, ketika sudah berada di depan pintu masuk kantor kami.
“Ada kabar apa?” begitu dia selalu memulai percakapan. Hal yang sama dilakukan ketika Syafii meninggalkan kantor kami, kembali dia melemparkan senyum dan mengangkat tangannya sambil berkata, “Saya tinggal dulu, kerja yang baik ya.”
Adem. Begitulah kami rasakan setiap kali beliau mengunjungi kantor kami. Ibarat orangtua yang sedang melihat anaknya, kedatangannya saja sudah menentramkan hati kami.
Hingga akhir tahun 2006 ketika kantor GATRA Biro Yogyakarta dan Jawa Tengah ditutup, kami tak pernah lagi berkumpul di tempat itu. Hanya sesekali ketemu ketika ada liputan. Selamat jalan Buya Syafii, kehadiranmu selalu menentramkan hati.
Sawariyanto, Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia DIY, mantan wartawan.