Jakarta, Gatra.com – Majelis Rakyat Papua (MRP) menyatakan, konsisten menempuh jalur hukum dan upaya formal menyikapi pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II dan terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus. Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait menyatakan, revisi UU Otsus tersebut tidak akan berjalan efektif lantaran tidak melibatkan aspirasi rakyat Papua. Karena itu, pihaknya melayangkan gugatan hukum (judicial review) UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami telah menyerahkan kesimpulan akhir dan menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi. Kita sebagai warga negara yang baik menempuh secara hukum, secara konstitusional perubahan UU Otsus ini,” ujar Yoel Luiz Mulait dalam keterangannya kepada Gatra.com, Rabu (25/5).
Ia berpandangan, UU Otsus saat ini semakin mengkebiri hak-hak rakyat Papua. Di mana DPR membongkar sejumlah pasal yang kemudian memperkuat sentralisasi Jakarta dalam UU Otsus. “Presiden mengirim surat ke DPR itu kan hanya tiga pasal yang diubah tentang ketentuan umum, dana otsus, dan pemekaran. Kemudian tiba di DPR, menjadi 19 pasal. Ini yang kemudian kami pertanyakan,” katanya.
Di samping UU Otsus, MRP juga mempersoalkan ketergesa-gesaan pemerintah dan DPR dalam mendorong terbitnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Pemekaran Papua yang sebelumnya disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 12 April 2022. Tiga RUU yang bakal digodok di Senayan tersebut, di antaranya RUU tentang Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), RUU tentang Provinsi Papua Tengah (Meepago), dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah (Lapago).
Yoel menyampaikan, masyarakat Papua secara mayoritas menolak dibentuknya pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan alasan prosesnya tidak melalui aspirasi masyarakat dan didasarkan riset atau kajian mendalam. MRP menurutnya mendorong pemerintah untuk terlebih dulu mengevaluasi pelaksanaan Otsus di masa lalu, di mana hasil evaluasi tersebut dijadikan dasar untuk mengevaluasi UU Otsus secara menyeluruh.
“Dua puluh tahun [pemberlakuan Otsus Papua] ini bukan waktu yang pendek, tanpa adanya evaluasi, kemudian belum cukup setahun langsung diberlakukan DOB. Jadi kan, masyarakat posisinya kaget,” kata Yoel.
Terlebih, ia mempertanyakan urgensi pemekaran dan pembentukan RUU Provinsi Pemekaran Papua di saat MRP mengajukan gugatan hukum UU Otsus ke MK. “Kita semua tahu bahwa pemerintah lagi moratorium pemekaran, kenapa untuk Papua harus dipaksakan? Kemudian, tidak ada semacam studi kelayakan tentang pemekaran. Data yang digunakan lebih dari data aparat keamanan, bukan data dari masyarakat,” ia memaparkan.
Karena itu, MRP berpandangan pemekaran tidak timbul dari keinginan rakyat Papua melainkan dari keinginan elite yang bersifat top down. “Inilah yang menyebabkan resistensi di rakyat,” katanya. Diketahui, setelah pemberlakuan UU Otsus dan niat pemerintah melakukan pemekaran tiga provinsi baru di Papua, masyarakat menggelar demonstrasi di sejumlah wilayah mulai dari Jayapura, Wamena, Yahukimo, Nabire, dan Serui.