Palembang, Gatra.com - Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan salah satu daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi setempat mencatat sudah ada 316 hotspot atau titik panas yang muncul di Bumi Sriwijaya sepanjang Mei 2022.
“Mei ini saja sudah ada 316 hotspot dan itu meningkat dibanding bulan yang sama pada tahun lalu yakni 139 hotspot. Ini merupakan sinyal kenaikan titik panas pada Mei-Juni-Juli dan puncaknya pada Agustus-September,” ujar Kepala BPBD Provinsi Sumsel, Iriansyah, Rabu (25/5).
Menurutnya, ada luasan lahan gambut di Provinsi Sumsel terutama di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Kabupaten Ogan Ilir (OI), Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Kabupaten Banyuasin dan beberapa kabupaten lainnya yang berpotensi terbakar.
Dikatakannya, dari pengalaman karhutla pada 2015 lalu di wilayah Sumsel dan Jambi, kebakaran tersebut menjadi isu nasional hingga internasional, terutama karena kabut asapnya. Akhirnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan untuk pencegahan Karhutla, salah satunya dengan pembasahan lahan.
“Kalau lahan kecil, mudah dibasahkan. Tapi jika luas, perlu TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) untuk membasahi lahan seluas itu. Perlu kerja sama dengan semua pihak. TMC sangat dibutuhkan untuk pembasahan lahan, terutama gambut. Kalau gambut terbakar dan sulit air, akan repot memasukkan pemadaman sehingga perlu pembasahan dini,” jelasnya.
Jika karhutla terjadi di Sumsel, hal tersebut akan menjadi ancaman nasional. Karena itu, Sumsel telah menetapkan status Siaga Darurat Karhutla per 19 April 2022 hingga 30 November 2022 mendatang.
Sementara itu, Kepala BMKG Sumsel, Desindra, menjelaskan wilayahnya akan memasuki awal musim kemarau pada Mei dasarian tiga hingga Juni dasarian dua. Kemudian, puncaknya sendiri pada Juli dan September.
“Musim kemarau masih akan berlangsung hingga tiga bulan ke depan. Kewaspadaan terhadap potensi Karhutla tetap diperlukan,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan dari Stasiun Klimatologi, lanjutnya, curah hujan menunjukkan korelasi tinggi kurang dari 50 mm. Lalu, pada kondisi global terpantau La Nina masih aktif menyebabkan peningkatan curah hujan dan suhu muka laut equator bagian tengah masih dingin.
“Tentu, hal itu dapat menguntungkan operasi TMC karena bahan baku pembentukan awan masih akan ada,” katanya.