Jakarta, Gatra.com – Pembentukan poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP memantik respon dari banyak kalangan. Ada respon yang memuji, tak sedikit pula respon yang mengeritik koalisi ketiga partai politik (parpol) tersebut. Terlebih dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2024 yang masih panjang. Pembentukan KIB dinilai terlalu dini dan rentan “diganggu” lawan politik.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas berpandangan, pembentukan KIB sebagai langkah yang cerdas dan taktis, terutama dalam menghadapi Pilpres 2024. “Cerdas karena ketiganya sekarang bisa membangun kekuatan bersama, saling menguatkan. Taktis karena kekuatan tawar politik ketiganya kini meningkat,” kata Sirojudin Abbas kepada Gatra.
Ia mengatakan, langkah merintis KIB sudah tepat. Di mana ketiga partai dapat bekerja menyiapkan rencana politik serta “memanaskan” mesin parpol jauh-jauh hari. “[Koalisi ini] tidak kepagian. Jika berhasil diperkuat dari dalam partai masing-masing, KIB bisa bekerja lebih awal menuju Pilpres,” ujar Sirojudin.
Menurutnya, Airlangga dengan gerbong Golkar menjadi leader dari rintisan KIB ini. Kejelian Golkar adalah mengincar partai menengah atau partai dengan suara yang tidak besar. Dengan itu, Golkar punya bargaining power memimpin koalisi, sekaligus memajukan Airlangga sebagai capres 2024.
“PAN dan PPP memiliki modal politik lebih kecil dari Golkar. Mereka akan cenderung menempatkan Golkar sebagai pemimpinnya,” ucap analis politik jebolan University of California, Berkeley, Amerika Serikat itu.
Kendati KIB sudah terbentuk, Sirojudin berpandangan ketiga parpol harus memobilisasi dukungan dari pengurus pusat dan daerah di internal masing-masing. Sebab, jika pengurus pusat lain dan pimpinan daerah tidak setuju, rintisan KIB tidak akan berkembang atau hanya sebatas wacana di tingkat elite. “Malah bisa layu sebelum berkembang,” kata Sirojudin.
Kehadiran PAN dan PPP menurutnya tidak hanya melengkapi kebutuhan suara untuk presidential threshold. Lumbung pemilih PAN dan PPP strategis bagi Golkar. Keduanya mewakili blok pemilih muslim moderat yang menguatkan Golkar sebagai partai nasionalis. “Dengan gabungan ini, KIB memiliki prospek cukup baik untuk memperluas dukungan,” ujarnya.
Selain itu, Sirojudin menilai Golkar masih memiliki kemampuan untuk menaikkan dukungan di Pemilu Legislatif (Pileg), dengan kalkulasi risiko konflik internal bisa dihindari. Publik masih diingatkan dengan peristiwa dualisme kepengurusan di tubuh Golkar pada 2014. Dualisme itu menyebabkan terbelahnya sikap politik Golkar dalam kancah Pilpres.
Munas Bali saat itu menetapkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar dan membawa Golkar ke Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo-Hatta. Munas versi Ancol memilih Agung Laksono yang justru membawa Golkar ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Jokowi-JK.
“Golkar punya cukup waktu untuk merapikan basis-basis politik lamanya yang sekarang berserakan dan kurang terurus. Ini sangat tergantung pada kerja politik kader-kader dan caleg di tingkat komunitas pemilih,” kata Sirojudin.
Hal itu yang menjadi pertimbangan Airlangga melakukan kerja politik lebih awal untuk meyakinkan pemilih kepada Partai Beringin. Terutama bagi kalangan pemilih baru yang tidak mempunyai memori Golkar zaman Orde Baru. Hanya saja, Golkar memiliki hambatan pada elektabilitas Airlangga yang belum beranjak naik.
Dari sigi survei SMRC yang digelar 8-10 Februari 2022, elektabilitas Airlangga hanya berkisar 0,3%. Survei Indikator Politik yang dilakukan 14-19 Februari 2022 merilis elektabilitas Airlangga di angka 0,5%. Teranyar, survei Populi Center pada 24 April 2022 yang melansir elektabilitas Airlangga di 0,3%. Sirojudin menyebut, sebagai capres yang disepakati Golkar, figur Airlangga bukan top of mind. Suara petinggi Golkar itu belum cukup kompetitif dan belum pernah masuk lima besar tokoh dalam simulasi terbuka capres versi lembaga survei.
“Langkah-langkah politik Airlangga sejauh ini belum dinilai cocok dengan harapan mayoritas pemilih. Penerimaannya masih perlu diperbaiki,” ujar Sirojudin. Peneliti senior SMRC itu mengatakan, pekerjaan rumah KIB ke depan adalah menemukan pasangan capres-cawapres yang kompetitif. Bila Airlangga disepakati maju sebagai capres, maka pendampingnya harus sosok yang mampu mendongkrak elektabilitas.
Saat ini beredar beberapa nama yang digadang-gadang sebagai pendamping Airlangga. Mulai dari Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, AHY, hingga Andika Perkasa. Menurut Sirojudin, koalisi tiga parpol ini perlu berhitung cermat terutama menjelang pertengahan kedua tahun 2023. “Kandidat ‘kuda hitam’ dari KIB sangat mungkin. Jika terkonsolidasi, KIB sudah bisa memulai persiapan lebih awal,” pungkasnya.