Jakarta, Gatra.com - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono mengatakan bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) membutuhkan perlindungan pemerintah dan kepastian hukum.
"Stigma negatif sangat kental melekat pada tembakau. Padahal Indonesia adalah penghasil tembakau kualitas terbaik," katanya dalam acara diskusi sekaligus halalbihalal di Jakarta, Jumat (20/5).
Ia menilai, IHT belum diberikan ruang dan kesempatan untuk bertumbuh leluasa. Implementasi peraturan dan kebijakan yang ada dirasa belum berimbang dan adil terhadap IHT.
"Membuat sektor ini dari hulu hingga hilir, berada dalam ketidakpastian. Petani tembakau masih berharap tanam dan panen raya dapat maksimal, pabrikan masih punya asa agar serapan dan produksi tetap tinggi," jelasnya.
Menanggapi hal ini, Dosen Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho menyebut bahwa negara tidak boleh sewenang-wenang dan wajib melindungi ekosistem pertembakauan. Sebagai negara hukum, pemerintah wajib menjunjung rasa keadilan dalam memberikan kesempatan pada industri ini untuk bisa tumbuh dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.
"Dalam menerbitkan regulasi terkait pertembakauan, stakeholder harus dilibatkan. Pemerintah dalam melakukan implementasi kebijakan harus benar-benar memenuhi rasa keadilan," tegas Ali dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, tembakau adalah produk legal yang dilindungi payung hukum. Oleh karena itu, seluruh bagian dalam ekosistem pertembakauan mulai dari petani, pekerja, pabrikan, hingga konsumen berhak mendapat perlakuan yang sama dengan ekosistem industri lain.
"Ketika berbicara tentang hukum dalam konteks produk tembakau, saya mencatat ada 12 putusan MK yang jelas menegaskan bahwa produk tembakau bukan produk yang dilarang untuk diperjualbelikan," ucapnya.
Ia juga menjelaskan, IHT telah kontribusi terhadap APBN, ada cukai hasil tembakau yang memberi sumbangsih dan kontribusi terhadap penerimaan negara. Selain itu, mata rantai elemen IHT seluruhnya sebagai badan hukum telah membayar pajak.
"Maka, sudah sewajarnya IHT perlu mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan berimbang,' kata Ali.
Ekosistem IHT juga menjadi sektor padat karya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, sektor IHT menyerap sekitar 5,98 juta tenaga kerja meliputi petani tembakau, petani cengkeh, buruh pelinting, hingga pekerja kreatif.
Ali juga menyebut, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) pun perlu dipertanyakan proporsinya secara regulasi. Pemanfaatan dan distribusi DBHCHT harus dirasakan secara merata oleh para pekerja sektor pertembakauan dari hulu hingga hilir.
"Dalam praktiknya, regulasi terkait proporsi dan penyaluran DBHCHT perlu kita pertanyakan. Kembali ke awal, apakah sudah melingkupi porsi yang pas untuk kesejahteraan petani dan pekerja lainnya," Ali mengakhiri.