Palembang, Gatra.com – Banjir yang kerap melanda Kota Palembang, ketika musim penghujan, dinilai bentuk kelalaian dan ketidakmampuan pemerintah setempat melakukan mitigasi bencana (banjir) di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, tersebut.
Atas dasar keprihatinan tersebut organisasi sipil Wahana Lingkunga Hidup Indonesia (Walhi), melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang, terhadap Pemerintah Kota (Pemko) Palembang, yang dinilai kurang peka serta lemah dalam melahirkan kebijakan untuk keberlansungan lingkungan hidup, sehingga menyebab bencana banjir.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumsel, Yuliusman, Selasa (17/5), mengatakan bahwa sikap yang ditunjukkan (menggugat Pemko Palembang ke PTUN) merupakan bentuk akumulasi atas keprihatinannya yang atas kelalaian pemerintah daerah, menyebabkan masyarakat harus memikul dampaknya.
“Dari hasil kajian yang kami (Walhi Sumsel) lalukan, banjir yang kerap menimpa daerah ini (Kota Palembang), faktor utama minimnya upaya atau tindakan dan beberapa infrastrukutur mulai retensi dan ruang terbuka hijau yang terdegradasi atas nama pembangunan. Jadi ini kelalaian dari pemerintah kota (Walikota Palembang),” ujarnya didampingi Ketua Divisi Hukum dan HAM Walhi Sumsel, Yusri Arafat serta tim pengacara.
Lanjutanya, gugatan yang sudah masuk pada agenda sidang mendengarkan saksi ahli dan saksi prinsipal itu, bentuk komitmenya untuk terus mendorong terwujudnya hak atas lingkungan hidup yang layak dan sehat. Selain itu, juga merefleksi kebijakan pemerintah sehingga tidak melenceng terlampau jauh dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pemajuan, perlindungan, penegakan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
“Jangan sampai banjir di Kota Palembang, separah Jakarta. Kami yakin ini bisa diperbaiki. Kita juga tentunya tidak menginginkan terulangnya bencana banjir seperti pada akhir tahun lalu, yang menelan dua korban jiwa sebagaimana materi gugatan kami. Dengan demikian Walhi mendorong tata kelolah pemerintah yang baik, agar masyarakat merasa tidak dihantui kebanjiran," harapnya.
Sementara saksi ahli, Eko Teguh Paripurno memaparkan, pengendalian dan pengelolaan banjir perlu diikuti dengan perencanaan dan tindakan konkret, sehingga permasalahan banjir dapat diatasi. Menurutnya, pemerintah daerah dalam hal ini Pemko Palembang dalam mengendalikan banjir dapat bersifat struktural dan non struktural. Metode Struktural jelasnya, dapat berupa membangun pengendalai banjir seperti kolam retensi, cekdam penangkap sedimen, groundsill, retarding basin, polder dan perbaikan dan pengaturan sistem sungai.
“Dengan melihat kecenderungan peningkatan jumlah curah hujan, maka residu air yang menimbulkan genangan yang perlu dikelola sebesar 52.241.224 m3 (52,42 juta m3), dengan curah hujan dasarian ekstrem sebesar 350 mm, seperti yang terjadi kisaran tanggal 26 Desember 2021, atau jumlah residu sebesar 22,39 juta m3 pada kondisi curah hujan dasarian rata rata tinggi, sekitar 150 mm. Jumlah ini akan menimbulkan genangan banjir seperti yang lazim terjadi selain tanggal tersebut, Dengan kecenderungan jumlah residu air tersebut maka Kota Palembang memerlukan kolam retensi tambahan dengan kedalaman rata-rata 1,5 m seluas 21,32-29,75 hektar,” paparnya.
Adapun metode non struktural sambung Peneliti pada Pusat Studi Manajemen Bencana UPN ‘Veteran’ Yogyakarta, ini bahwa dapat dilakukan di antaranya, melalui pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, pengendalian erosi, pengembangan daerah banjir, pengaturan daerah banjir.
“Untuk manajemen bencana banjir sendiri, mengingat kecenderungan kejadian banjir yang tinggi dan meningkat, maka tindakan yang bertolak belakang dan kontra produktif dengan upaya pengelolaan banjir saat ini perlu menjadi refleksi bersama untuk diperbaiki,” katanya.
Dijelaskan pula bahwa ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu perangkat non struktural dalam pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan fungsi resapan dan mengurangi erosi. Oleh karenanya progres pencukupan RTH di Kota Palembang, perlu segera diwujudkan. “Perwujudan dan pengaturan tata guna lahan, antara lain dalam bentuk rawa konservasi seluas 691 Ha perlu diwujudkan sesuai jumlah yang ditetapkan seluas 2.106,13 Ha,” jelasnya.
Selain itu, sebagian besar wilayah rawa konservasi yang telah dialihfungsikan menjadi permukiman dan pusat kegiatan ekonomi, perlu diikuti dengan penambahan sumur resapan dan bentuk lainnya yang berfungsi resapan. Alihfungsi kawasan rawa konservasi menyebabkan penurunan daya dukung lingkungan serta menghilangkan fungsi rawa sebagai ‘kolam retensi alamiah’ dan dengan sendirinya akan meningkatkan risiko banjir.
Di Kota Palembang, penataan kawasan kota dengan pengarusutamaan mitigasi bencana banjir dengan tindakan operasional turunannya perlu menjadi perioritas. Pemerintah daerah harus menindaklanjuti mandat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 Tahun 2018, sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan Penanggulangan Bencana, berupa (1) Penyediaan informasi rawan bencana, (2) Pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana, (3) Penyelamatan dan evakuasi korban bencana.