Jakarta, Gatra.com - Tak jelas siapa yang memulai. Yang pasti, banner Downfall; Lonceng Kematian Industri Sawit itu sudah sejak kemarin menghiasi status media sosial banyak petani.
Namun agaknya tak berlebihan sebenarnya jika banner semacam itu mulai berseliweran. Sebab situasi terkini industri sawit Indonesia sudah semakin memburuk.
Yang tadinya persoalan masih hanya di penurunan harga pasca pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng (migor), migor dan Crude Palm Oil (CPO), belakangan sudah sampai pada level; Pabrik Kelapa Sawit (PKS) angkat tangan. Tak lagi mau membeli Tandan Buah Segar (TBS) petani.
Dalam rapat terbatas Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) hari ini mencuat data bahwa 25% dari 1.118 PKS yang ada di Indonesia sudah angkat tangan, tak mau lagi menerima TBS petani.
"Harga TBS sudah anjlok antara 40%-70% pada rentang 21 hari terakhir. Berharap pada Permentan 1 tahun 2018 untuk bisa mendongkrak harga, petani swadaya cuma bisa mengurut dada. Sebab Permentan itu cuma untuk petani plasma yang cuma sekitar 7% dari total petani kelapa sawit," ujar Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung kepada Gatra.com, jelang sore tadi.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi pun bilang kalau secara nasional, daya tampung rata-rata tanki penampung CPO cuma tersisa dua pekan lagi.
"Kalau kran ekspor tidak segera dibuka, maka PKS berhenti menerima TBS dan berhenti pula beroperasi. Kami berharap kondisi semacam itu jangan sampai terjadilah," katanya kepada Gatra.com, sore ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sepaham dengan Tofan. Lelaki 35 tahun ini malah terang-terangan meminta cabut dulu larangan ekspor itu. "Sebab larangan ekspor itu enggak berpengaruh apapun, harga migor enggak turun. Migor kemasan masih di Rp25 ribu per liter," katanya kepada Gatra.com tadi malam.
Sementara larangan ekspor itu kata Bhima tak hanya mencekik petani sawit, tapi juga membikin pengusaha kelimpungan. Kocek pemerintah serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga menjadi kempis lantaran Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) yang ngadat.
Khusus di level petani sawit, tak kurang dari 3 juta rumah tangga sudah masuk pada kondisi megap-megap oleh larangan ekspor itu. Sawit mereka berangsur tidak laku.
Kondisi ini tentu akan menyeret lebih dari 7 juta buruh di sektor sawit untuk segera 'dirumahkan' lantaran petani lebih memilih sawitnya membusuk di pohon.
Ketua Umum DPP Sawitku Masa Depanku (Samade), Tolen Ketaren malah sangat kecewa dengan kecewa dengan sikap pemerintah yang seolah-olah peduli rakyat miskin.
"Rakyat miskin yang mana yang diperdulikan disaat rakyat miskin juga yang dikorbankan?" katanya kepada Gatra.com sore ini.
Harusnya kata Tolen, Kementerian Perdagangan (Perindag) jeli menengok situasi. Saat pemberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) saja katanya, sudah berdampak ke petani, apalagi stop ekspor.
"Mestinya pembantu presiden bisa membikin payung hukum dan bisa memberitahu presiden atas dampak kebijakan yang akan diberlakukan. Ini enggak ada," rutuk nya.
Tolen tak yakin pembantu presiden tidak bisa membikin pertimbangan dan kalkulasi meski pada kenyataannya kalkulasi itu tak ada dan kebijakan pun terkesan mendadak.
"Akibatnya beginilah. Kerugian yang diderita petani sawit tak tanggung-tanggung lho. Sudah lebih dari Rp20 triliun. Kalau duit sebanyak itu dipakai untuk subsidi migor, enggak akan habis itu," lelaki ini masih merutuk.
"Sebenarnya masalah awalnya ini ingin meniru larangan ekspor batubara. Yang mengusulkan pun orang yang sama. Ceritanya mau 'shock therapy lah. Kita sudah kasi tahu kalau protectionist dadakan kayak begitu enggak akan efektif. Yang dirugikan justru petani swadaya," Bhima mulai cerita.
Kalau dirunut lagi ke belakang kata Bhima, pemerintah prustasi lantaran tidak menguasai produksi CPO. Yang dikuasai cuma 5% dari total CPO. Itupun dari BUMN.
Di sisi lain, untuk distribusi migor, Bulog bingung. Belinya dari mana. "Ini beda sama beras. kalau beras, Bulog beli langsung dari petani. Migor beli dari mana? Ketetapan harganya seperti apa? Alhasil Bulog maju mundur," ujar Bhima.
"Ini sebenarnya sudah masalah yang fundamental. Namun lantaran popularitas pemerintah terus menurun gara-gara minyak goreng, maka dipakailah kebijakan jalan tikus; larangan ekspor," tambahnya.
Biar persoalan yang sama tidak terulang lagi, kalau larangan ekspor segera dicabut kata Bhima, ada baiknya langsung juga dicari tahu berapa persen Bulog terlibat dalam distribusi migor. Buat pengaturan. Lalu gudang Bulog sudah siap apa belum.
"Berikutnya, Bulog harus mengintervensi langsung distribusi. Migornya enggak boleh yang curah, tapi kemasan. Kalau curah, bocornya kemana-mana. Wong nggak ada kemasannya, enggak ada kode produksinya. Kalau ada subsidi, subsidinya jangan kepada perusahaan, tapi ke Bulog langsung. Berapa selisih harga, bayarnya lewat bulog," katanya.
Abdul Aziz