Jakarta, Gatra.com - Industri perbankan Indonesia masih belum berkomitmen mengimplementasikan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Pasalnya masih banyak lembaga keuangan yang menyalurkan kredit ke energi kotor batubara.
Menyikapi kondisi tersebut, Pakar Hukum Bisnis dari Universitas Airlangga, Prof. Budi Kagramanto mengatakan perbankan sepatutnya selektif dalam memberikan pendanaan atau pinjaman, apalagi kepada perusahaan industri tambang dengan segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Selektif yang dimaksud, adalah memperhatikan prinsip kehati-hatian atau prudential banking dalam UU Perbankan, yang kemudian memuat aspek 5C, yakni Character (Watak), Capacity (Kapasitas), Capital (Modal), Collateral (Agunan), dan Condition of Economy (Kondisi Perekonomian).
"Sekalipun, prinsip kehati-hatian dipenuhi, namun bank juga harus melihat dampak panjangnya bagaimana. Makanya harus selektif, agar tidak bertabrakan dengan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup," ujar Budi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Jika terpaksa harus membiayai, lanjutnya, pemberian pinjaman dana pun harus dengan agunan yang sepadan dengan pinjaman dari bank BUMN. Jika tanpa agunan, Budi melihatnya sebagai sebuah masalah besar. "Jika ada pemberian pembiayaan tanpa agunan, terutama ke industri tambang, maka berpotensi melanggar hukum, khususnya UU Perbankan dan Tipikor, pada aspek-aspek 5C, khususnya Collateral (agunan)," ujarnya.
Baginya, agunan adalah sebuah kewajiban, apalagi debiturnya merupakan perusahaan tambang dengan segala risiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
"Ya gak boleh begitu. Apalagi untuk pendanaan proyek besar di industri tambang. Tetap harus pakai agunan. Menurut saya tidak boleh, karena ini menyangkut kerusakan lingkungan hidup. Jangan sampai dana cair tanpa agunan disetujui begitu saja," ujar Prof Budi.
Diberitakan sebelumnya Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif. Dia menyebut sebanyak enam bank RI ramai-ramai memberikan pendanaan untuk industri batu bara, bahkan jumlahnya mencapai Rp 89 triliun. Bank-bank itu adalah BNI, Mandiri, BRI dan BCA. Pengucuran dana untuk pembiayaan perusahaan tambang batu bara banyak terjadi di Sumatera Selatan hingga Kalimantan.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Gde Pantja Astawa juga ikut berkomentar soal dugaan pendanaan tanpa agunan dari bank-bank pelat merah ini, kepada sejumlah perusahaan tambang.
Menurutnya, jika benar ada dugaan pelanggaran dalam pendanaan perusahaan tambang ini, merujuk UU Perbankan, maka BPK pastinya akan menyampaikan laporannya kepada publik. "Gak mungkin bisa lolos begitu saja. Ini akan jadi temuan, paling tidak dipertanyakan, kok bisa diloloskan begitu saja? Apalagi tanpa agunan, ini akan menimbulkan kecurigaan," ucap Gde.
Kemudian ia juga menyorot kinerja OJK sebagai lembaga yang berwenang mengawasi sektor keuangan, termasuk perbankan. Jika ada temuan demikian, pastilah otoritas ini tidak akan tinggal diam, apalagi jika menyangkut prinsip prudential banking.
Ia menjelaskan, bahwa dalam operasional perusahaannya, bank selain mengacu pada UU Perbankan juga berpegang pada UU Perseroan Terbatas (PT). Pengelolaannya berdasarkan prinsip Business Judgement Rule. Dari hal itu, bank akan berhitung untuk rugi perusahaan, termasuk dalam pembiayaan tambang, meskipun yang harus diutamakan adalah prinsip prudential banking atau kehati-hatian.
Dirinya mengingatkan kepada jajaran direksi bank, yang diyakininya pastilah orang-orang dengan kemampuan mumpuni, agar mempertimbangkan segala bentuk risiko dalam pembiayaan, terkhusus soal untung rugi.
"Harus hati-hati dan berpegang pada business judgement rule, karena jika ada penyelewengan tanpa itikad baik, maka ancamannya pidana," terangnya.