Jakarta, Gatra.com – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta pemerintah Indonesia untuk memasukkan peristiwa Reformasi 1998 ke dalam kurikulum sejarah di sekolah. Tujuannya agar generasi muda bisa memetik pelajaran dari peristiwa tersebut.
“Jangan sampai kasus Filipina terjadi di Indonesia. Anak mantan diktator, Bongbong Marcos, terpilih menjadi presiden dan didukung anak-anak muda yang lupa akan sejarah,” ujar Bendahara Umum DPP PSI, Suci Mayang Sari, yang juga merupakan Aktivis 98, dalam momen peringatan 24 tahun Tragedi Trisakti, Kamis, (12/5/2022).
Sebagai catatan, pekan ini, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr terpilih menjadi Presiden Filippina. Bongbong adalah anak dari Ferdinand Marcos Sr., diktator yang berkuasa dari 1965 sampai 1986 di Filipina. Marcos Sr ditumbangkan olah gerakan rakyat.
Selama masa darurat militer (1972-1981) dan dalam rentang lima tahun terakhir Marcos Sr. berkuasa, tercatat sekitar 70 ribu orang ditahan, 30 ribu orang disiksa, dan ratusan orang menjadi korban penghilangan paksa.
Mayang mencatat bahwa rezim Soeharto juga punya perilaku tak jauh berbeda. Ironisnya, katanya, sampai saat ini sejarah peristiwa Reformasi 98 belum masuk kurikulum sekolah. Menurutnya hal ini akan membuka peluang terjadinya “amnesia sejarah".
“Saya bicara dengan anak-anak muda, dan banyak di antara mereka tidak tahu apa reformasi dan Tragedi Trisakti. Saya berharap pemerintah memasukkan kisah Reformasi 98 ke kurikulum resmi sekolah,” kata Mayang.
Pada Kamis 12 Mei ini, bersama kawan-kawan Aktivis 98, Mayang menggelar upacara dan berziarah ke makam para mahasiswa yang menjadi korban penembakan di kampus Universitas Trisakti dalam demonstrasi menentang rezim Soeharto. Tragedi Trisakti ini mengawali meluasnya tuntutan reformasi dan mengakhiri 32 tahun kekuasan Soeharto.
“Berkah demokrasi hari ini adalah buah perjuangan mahasiswa 24 tahun lalu. Kebebasan berbicara dan berkumpul adalah buah perjuangan yang diawali jatuhnya korban Tragedi Trisakti,” pungkas Mayang.