Pekanbaru, Gatra.com - Tak kurang dari 439 orang personil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bakal menyidir provinsi Riau pada 19 Mei 2022-31 Juli 2022. Mereka terbagi dalam 18 team.
Adapun tugas mereka seperti dalam Surat Perintah nomor PT.23/MENLHK/PHLHK/GKM.2/4/2022 yang didapat Gatra.com --- surat itu diteken langsung oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya pada 28 April 2022 --- adalah; pertama, melakukan pengidentifikasian, pendataan dan pencatatan kegiatan usaha perkebunan, pertambangan dan atau kegiatan usaha lain yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan di Provinsi Riau.
Kedua, Melakukan koordinasi dan komunikasi dengan bupati, pengelola kawasan hutan dan atau pihak-pihak lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas identifikasi kegiatan usaha terbangun dan tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Ketiga, menyampaikan hasil pengidentifikasian, pendataan, dan pencatatan data dan informasi kegiatan usaha yang tidak memiliki perizinan kepada Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK selaku Ketua Tim Identifikasi dan Konsolidasi Kegiatan Usaha yang tidak memiliki perizinan bidang kehutanan di provinsi Kalimantan Tengah dan Riau dan tembusannya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bagi mantan anggota Tim Serap Aspirasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), Prof. Budi Mulyanto, Surat Perintah Menteri LHK itu nampak janggal.
Sebab di dalamnya tidak terdapat unsur-unsur pemerintah daerah, Tata Ruang dan Pertanahan, masyarakat seperti kepala desa dan penetua adat, pihak swasta, keamanan dan unsur lain yang berpotensi terkait dalam pekerjaan yang akan dilakukan oleh Tim KLHK itu.
"Saya tengok memang bahasanya identifikasi. Namun yang diidentifikasi itu kan musti jelas dan tim musti menentukan batas-batas kawasan hutannya dimana. Kalau Tim itu hanya entitas LHK dan keamanan saja, maka itu tidak memenuhi azaz kontradiktur delimitasi," ujar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini saat berbincang dengan Gatra.com tadi sore.
Azaz Contradictoire Delimitatie atau Kontradiktur Delimitasi sendiri adalah sebuah norma yang digunakan dalam Pendaftaran Tanah dengan mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk memperhatikan penempatan, penetapan dan pemeliharaan batas tanah secara kontradiktur atau berdasarkan kesepakatan dan persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, yang dalam hal ini adalah pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah yang dimilikinya.
"Jadi, secara hukum, upaya-upaya semacam ini hanya upaya sepihak. Sementara hukum itu eksis jika diakui oleh para pihak. Kalau itu hanya hukum KLHK, itu sama saja dengan penindasan terhadap hak-hak masyarakat yang ada dalam klaim sepihak tadi dan rakyat berhak protes," kata lelaki 65 tahun ini.
Rakyat berhak protes kata Budi lantaran negara dan rakyat adalah entitas yang sama. "Jadi, apabila negara mau berbuat, musti bersama rakyat," tegasnya.
Kalau KLHK ngotot seperti itu, boleh-boleh saja jika KLHK mengganti rugi hak-hak para pihak yang diklaim KLHK tadi. "KLHK enggak bisa serta merta menyebut apa yang sudah dikuasai oleh masyarakat sebagai kawasan hutan. Terlebih jika apa yang sudah dikuasai itu sudah puluhan tahun dan bahkan sebelum Indonesia merdeka," ujarnya.
KLHK kata Budi musti patuh pada aturan main, bahwa dalam menentukan kawasan hutan itu musti ada batas luar dan batas dalam. "Enggak bisa cuma klaim begitu. Kalau klaim begitu saja, itu sudah melanggar hak asasi manusia yang sudah diatur dalam pasal 27 hingga pasal 34 UUD '45" tegasnya.