Jakarta, Gatra.com - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berharap permasalahan minyak goreng di tanah air dapat segera diatasi dan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya tidak diterapkan dalam jangka waktu yang lama.
"Seluruh masyarakat dan pelaku industri sawit nasional saat ini sedang menunggu adanya tindakan lanjutan dari pemerintah agar permasalahan ini bisa secepatnya tertangani dengan baik." ujar Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono kepada GATRA, Rabu (11/05).
Lebih lanjut, Mukti menyebut jika kebijakan pelarangan CPO terus berlanjut dalam jangka panjang, maka pihak yang paling berat menanggung dampaknya adalah para petani, khususnya petani sawit swadaya.
"Pelarangan total terhadap ekspor CPO dan turunannya, apabila berkepanjangan akan menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan tidak hanya perusahaan perkebunan, refinery dan pengemasan, namun juga jutaan pekebun sawit kecil dan rakyat." ujarnya.
Untuk petani yang sudah bermitra, jelas Mukti, dalam jangka pendek, kemungkinan belum berdampak terhadap harga TBS (tandan buah segar), namun bagi petani swadaya kemungkinan akan menurun harga TBS yang diterima dan penjualan juga menurun karena PKS (Pabrik Kelapa Sawit) membatasi pembelian dalam jangka panjang.
Pelarangan ekspor CPO berkepanjangan, lanjut Mukti berpotensi mendorong petani Swadaya menghentikan usahanya karena tidak dapat menjual TBS-nya. Menurutnya, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena saat ini luas sawit Swadaya sekitar 5 juta hektar dengan asumsi kepemilikan pekebun masing-masing 2 Ha/KK.
"Maka akan terjadi pengangguran sekitar dua setengah juta keluarga atau sekitar 12,5 juta jiwa." tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto membeberkan kondisi petani sawit swadaya saat ini mulai menghadapi masalah anjloknya harga TBS. Penurunan ini tidak lepas dari keengganan pabrik menerima TBS sawit dengan harga tinggi di tengah kebijakan larangan ekspor.
Mansuetus menuturkan bahwa dalam kondisi normal harga TBS akan berada pada kisaran 70-80 persen dari harga patokan di tingkat provinsi yang mengacu pada Permentan No 1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Hanya saja selepas adanya pelarangan ekspor, selisih harga TBS dengan harga patokan kian besar, berkisar 40-60 persen.
Mansuetus membeberkan saat ini harga TBS sawit di tingkat petani swadaya telah turun ke kisaran Rp1.500-1.900 per kilogram. Padahal, sepanjang Maret-April lalu, harga TBS Sawit sempat beberapa kali mencatat rekor tertingginya. Sepanjang periode itu rata-rata harga TBS kelapa sawit di kelompok petani swadaya berkisar Rp2.000 hingga Rp3.700 per kilogram.
Penurunan harga TBS Sawit kian menambah beban petani swadaya dalam menanggung biaya produksi. Saat ini harga pupuk berada di kisaran harga Rp950 ribu untuk kemasan 50 kilogram. Kemudian harga pestisida dan herbisida berkisar Rp1,7 juta per kemasan 20 liter.
“Jika penurunan harga TBS terus berlangsung, petani semakin rugi bahkan tidak lagi mampu untuk berproduksi,” ujar Darto.
Selain itu, jelas Mansuetus, kapasitas tangki penampungan yang dimiliki pabrik juga turut menjadi pertimbangan untuk menerima TBS Sawit dari petani. Pasalnya jika ekspor masih dilarang, pabrik belum bisa menyalurkan produksi minyak gorengnya seperti sebelumnya.
“Kalau tangki sudah full itu akan bahaya buat petani karena buah sawit mereka tidak bisa lagi diterima pabrik,” ucapnya.
Jika tidak ada yang menerima hasil panennya, jelasnya, petani swadaya terancam mengalami kerugian lantaran tidak mempunyai kemampuan dalam menyimpan panen buah sawit. Dalam beberapa hari hasil panen mereka akan membusuk.
Atas kondisi yang terjadi saat ini pada petani sawit swadaya, Mansuetus menekankan agar Pemerintah segera mengakaji kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya ini.
“Harus ada analisis yang tajam soal batas waktu kebijakan pelarangan ekspor, soal kapasitas tangki penampungan CPO baik di kebun maupun di pelabuhan.” ujarnya.