Pekanbaru, Gatra.com - Jika kebijakan Presiden Jokowi melarang ekspor CPO berlanjut beberapa minggu kedepan, maka angka kemiskinan akan melonjak di Provinsi Riau.
Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Provinsi Riau, Djono, mengatakan hal tersebut dipicu oleh jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani, pasca berlakunya regulasi larangan ekspor minyak sawit pada 28 April 2022.
"Akibat kebijakan tersebut harga TBS di petani bekurang hingga 50 persen dari harga TBS yang ditetapkan Dinas Perkebunan. Sebelum berlakunya kebijakan itu, ciutnya hanya 5 persen dari harga TBS yang ditetapkan pemerintah. Jadi dampaknya sangat terasa khususnya bagi petani dengan lahan kebun yang tidak seberapa," katanya, Senin (9/5).
Adapun harga TBS kelapa sawit di Riau untuk usia 10-20 tahun pada periode 27 April sampai 10 Mei, sebesar Rp3.919,87/Kg. Dari besaran harga tersebut harga TBS di tingkat petani bisa menyentuh Rp1.600 per kilogram.
Djono mengatakan, seretnya harga di tingkat petani diperparah lonjakan harga pupuk yang gila-gilaan. Sebagai informasi, harga pupuk NPK saat ini menembus angka Rp700 ribu per karung, dari sebelumnya berkisar Rp400 ribu per karung pada tahun 2021. Sedangkan Urea sekarang menembus angka Rp600 ribu per karung dari tahun sebelumnya yang hanya Rp300 ribu per karung.
"Jadi harga pupuk tetap diatas, sementara harga TBS jatuh di tingkat petani. Sehingga petani yang lahannya hanya 2 hektare tidak akan sanggup untuk memupuk, sedangkan lahan yang lebih luas akan kurang optimal dipupuk, sehingga berdampak terhadap kualitas tanaman untuk tahun berikutnya," ungkap Djono.
Adapun jumlah petani kelapa sawit di Riau mencapai angka 500 ribu jiwa. Sebagai gambaran jumlah penduduk Riau hasil sensus tahun 2020 sebanyak 6,93 juta jiwa. Sedangkan angka kemiskinan di Riau hasil telaah Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021 mencapai 500,081 ribu jiwa. Angka tersebut menyertakan Covid-19 sebagai salah satu penyebab kemiskinan.
Menurut Djono, dari 500 ribu jiwa petani sawit di Riau, kelompok yang paling terdampak adalah petani dengan lahan kecil dan tidak memiliki penghasilan sampingan. Kelompok ini hanya menggantungkan hidup pada hasil sawit.
Ditegaskan Djono, kelompok tersebut tidak akan mampu bertahan untuk berminggu-minggu dalam kondisi saat ini, sehingga rentan terjerembab ke persoalan kemiskinan.
"Saat Covid-19 terjadi, pengangguran itu kan paling banyak di perkotaan. Di desa-desa efeknya tidak begitu berasa karena masih ada sawit yang digarap. Sekarang harganya jatuh 50 persen dari TBS yang ditetapkan pemerintah. Jatuhnya juga bukan karena harga CPO dunia turun, justru sebaliknya TBS petani jatuh disaat harga CPO dunia naik. Jadi ya kita berharap ada perubahan regulasi di pemerintah," katanya.