Kuala Lumpur, Gatra.com – Malaysia berencana mendapatkan kembali pangsa pasar minyak sawit di Uni Eropa (UE). Negara produsen sawit terbesar kedua di dunia tersebut ingin memanfaatkan kekurangan pasokan minyak nabati global dan ketegangan politik di Eropa.
Minyak sawit berguna dalam pembuatan berbagai produk, mulai dari lipstik hingga mie. Namun, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama menghadapi boikot karena dituduh membuka hutan hujan dan mengeksploitasi pekerja guna ekspansi perkebunan yang cepat.
Dilansir Reuters, Jumat (6/5), sejumlah perusahaan telah memperkenalkan ‘produk bebas minyak sawit’ dalam beberapa tahun terakhir. Adapun UE, pembeli sawit terbesar ketiga di dunia, sudah memutuskan untuk menghapus biofuel berbasis minyak sawit secara bertahap pada 2030.
Bahkan, jaringan supermarket 'Iceland' di Inggris menghilangkan minyak sawit dari komposisi makanan mereknya sendiri mulai tahun 2018. Tetapi, dalam beberapa bulan terakhir, jaringan retail tersebut terpaksa kembali ke komoditas sawit yang kontroversial.
Keputusan itu diambil menyusul kekurangan pasokan minyak nabati global yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina. Di sisi lain, Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit.
Menteri Industri dan Komoditas Perkebunan Malaysia, Zuraida Kamaruddin, mengatakan bahwa pemerintah tidak ingin menyia-nyiakan krisis yang baik. Dia memperkirakan harga minyak nabati global akan tetap tinggi pada paruh pertama 2022.
“Inilah saatnya kita meningkatkan upaya untuk melawan propaganda merugikan yang merusak kredibilitas minyak sawit, dan bagi kita untuk menunjukkan banyak manfaat kesehatan yang ditawarkan minyak emas,” katanya.
Pada Selasa (3/5), Federasi Minyak Nabati Uni Eropa (FIDEOL) menyebut larangan Indonesia untuk mengekspor produk minyak sawit tidak menimbulkan kekhawatiran di pasar UE. Sebab, blok tersebut memiliki cadangan selama beberapa pekan.
Ketidakpastian atas pasokan minyak bunga matahari karena invasi Rusia ke Ukraina telah mendorong permintaan minyak sawit dan minyak kedelai. Kondisi itu turut memicu pasar minyak nabati kian memanas lantaran importir mencari alternatif.
Zuraida mengatakan, Malaysia bakal mendapat manfaat dari permintaah yang berubah tersebut. Pihaknya juga akan melakukan upaya dan kampanye agresif untuk mengisi kesenjangan pasokan global dalam jangka panjang.
Diketahui, Malaysia dan Indonesia menyumbang 85% dari produksi minyak sawit global. Kedua negara menyatakan bahwa pembatasan UE pada biofuel berbasis minyak sawit adalah diskriminatif dan mengajukan gugatan secara terpisah ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).